Cerita Fiksi : segel yang di beli: tangan-tangan gelap menagih upeti

 

DEMO DEPAN GUDANG

Advertisements

Pagi belum terlalu terang ketika suara kerumunan pecah di depan gudang produksi milik Harlan.

Teriakan menggaung, spanduk dibentangkan dan kamera wartawan lokal sudah terarah ke pintu rolling door yang kini dipalang kerumunan Masa yang sedang berdemo.

Di antara kerumunan itu, berdiri sekelompok Ormas lengkap dengan atribut.

Mereka berteriak-teriak soal “dugaan pelanggaran izin, kesejahteraan buruh” dan “keresahan warga”.

Di sekeliling mereka, para anggota LSM kecil sibuk menulis laporan yang sejak awal sepertinya sudah disiapkan.

Bagi Harlan, semua itu hanyalah drama dengan naskah yang sudah diatur.

Di tengah kerumunan, terlihat dua wartawan lokal memegang kamera. Namun mata mereka lebih sering melirik ponsel, seolah menunggu pesan instruksi dari seseorang. Mereka memburu, bukan untuk berita tetapi untuk tekanan.

Harlan berdiri beberapa meter dari kerumunan, diam, hanya ditemani kelelahan panjang. Ia sudah berkali-kali menghadapi tekanan seperti ini. Tetapi hari itu berbeda. Ada yang lebih gelap dari biasanya.

“Ini bukan murni demo,” gumamnya lirih.

Dan ia benar. Ada tangan lain di balik segalanya.

KETUA KOMISI YANG MENGINGINKAN UPETI

Belakangan, Wilayah kecamatan berbatasan dengan ibu kota itu tengah panas oleh isu lemahnya pengawasan gudang dan industri. Ketua Komisi DPRD Kota seorang politisi ambisius bernama Ganda Surawin melihat kesempatan untuk mencuri panggung sekaligus berharap upeti.

Ia butuh kasus besar, dan gudang Harlan dianggap sasaran empuk. Menurut bisik-bisik di lapangan, Ganda-lah yang mendorong dinas penegakan perda agar cepat melakukan penyegelan. Bahkan ia disebut menekan pimpinan forum wartawan lokal untuk membuat berita “kritis” setiap hari agar kisah ini membesar di media dan lingkungan masyarakat.

“Segel dulu! Biar dia pusing. Nanti kalau dia minta tolong, kita bicara,” ujar Ganda suatu malam, menurut kesaksian seorang stafnya.
Dan benar saja… begitu gudang disegel, suara massa berdatangan seperti serangga mengelilingi cahaya. Semua menuntut, semua mendesak, semua berteriak, semuanya “atas nama rakyat”.

Rakyat mana? Tidak ada yang tahu.

PERANG URAT SARAF : ORAMAS, LSM, DAN FORUM WARTAWAN LOKAL

Setiap pagi, halaman gudang berubah seperti panggung sandiwara. Spanduk berganti, wajah orator berbeda, tetapi kalimatnya tetap sama.

“Gudang ini melanggar aturan dan tidak berizin ! Harus ditindak keras!”

Kadang ada ancaman halus, Dari dinas penegakan perda terdapat beberapa oknum yang mengatakan, “Kalau mau difasilitasi penyelesaiannya, kami bisa bantu… asal ada perhatian.”

Baca Juga   “Ibu Mertua, Tembok yang Semakin Menekan”

Ketua Forum Wartawan lokal pun ikut memainkan peran. Mereka mendekati Harlan dengan senyum simpul dan suara rendah: “Kalau mau berita meredup, kami bisa atur ritme liputan. Tapi ya… Anda tahu sendiri, Pak bos.”

Harlan hanya menatap mereka dengan tenang, “Berapa banyak lagi yang akan datang setelah kalian?”

Wartawan itu terdiam. Ia tahu, Harlan bukan pengusaha baru. Ia sudah pernah menghadapi model seperti mereka.

Namun tekanan tidak berhenti, Lusa, berita baru muncul:

“DPRD datang dan mendesak penyegelan Gudang Bermasalah dan pihak LSM sekaligus ketua forum wartawan lokal Menyebut Ada Permainan Izin”.

Narasi permasalahan gudang terus dibangun. Panggung dibesarkan dan di balik semua itu, Ganda Surawin, ketua forum wartawan serta inatansi-intansi terkait tersenyum puas.

KONSULTAN DAN HARAPAN YANG DIPATAHKAN

Harlan tidak tinggal diam. Ia memanggil seorang konsultan perizinan kepercayaannya:

Yusuf, pria yang sudah dua puluh tahun menjadi jembatan legalitas puluhan perusahaan.

Yusuf bergerak cepat. Dalam beberpa hari, semua dokumen beres. Legalitas lengkap sudah di upload di sistem. Pelanggaran yang dituduhkan sudah diselesaikan.

Namun ketika Harlan meminta agar segel dibuka, jawaban dari aparat penegak perda hanya satu, “Belum ada perintah dari pimpinan daerah.”

Padahal dokumen komplet, “Siapa yang menahan?” tanya Yusuf, kesal.

Jawaban mereka selalu sama, “Menunggu arahan dari atasan.”

Dan “atasan” itu, semua orang tahu, adalah tangan-tangan gelap yang yang terus menginginkan Upeti.

Namun Ganda Dan Pihak-Pihak terkait tidak akan memberi jalan sebelum ia mendapat sesuatu dan itu sesuatu belum datang.

ASPRI DAN KETUA PEMUDA YANG MEMBAWA BAYANGAN

Harlan tahu, untuk menghadapi tekanan seperti ini, ia harus menggunakan jalur lain. Jalur sunyi, Jalur belakang.

Jalur yang sering digunakan para pelaku usaha ketika birokrasi tidak berjalan normal.

Ia menghubungi orang kepercayaannya, RASYID.

“Cari seseorang yang punya akses ke Wakil Kepala Daerah. Jangan langsung pejabatnya. Cari Aspri-nya.”

Rasyid mengangguk. Ia tahu siapa yang dimaksud,

Aspri bernama MALIK FIRMANSYAH, seorang yang terkenal efektif, luwes, dan punya pengaruh karena menjadi orang terdekat Wakil Kepala Daerah.

Pertemuan diatur di kediaman Rasyid. Namun ketika Malik datang, ia tidak sendirian.
Di belakangnya, berdiri seorang pria dengan senyum menyeringai sinis, “Reno Estianto,” Ketua Organisasi Kepemudaan yang terkenal licik, oportunis, dan selalu mengikuti bau uang seperti anjing pemburu.

Baca Juga   Polres Jakarta Selatan Kabulkan Penangguhan Penahanan Rizky Billar

Rasyid menjelaskan perjalanan dan Kronologi masalah yang di gudang sekaligus perusahaan milik harlan secara jelas dan detail.

Reno menyapa ringan, “Wah, kasus seperti ini? Tenang, kami bisa bereskan. Tinggal mainkan saja ritmenya.”

Cara bicaranya seperti calo yang sudah hafal medan. Ia bahkan lebih vokal daripada Malik.

Di tengah obrolan, Rasyid tersenyum dalam upaya mencairkan suasana sekaligus bercanda, setengah serius:

“Kalau kalian berhasil menyelesaikan masalah ini, kita berkumpul lagi dan pasti ada imbalan pantas.”

Reno langsung menoleh. Matanya menyala Sambil tersenyum licik dan Malik tersenyum tipis, tidak membantah, tidak menegur.

Harlan di hadapan Rasyid melihat gestur aspri dan ketua pemuda itu merasa ada sesuatu yang tidak beres.

PERMINTAAN YANG DATANG SEBELUM KERJA DI MULAI

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Malik menghubungi Rasyid langsung,
Nada suaranya tidak lagi tenang. Ada kegugupan, ada tekanan yang disembunyikan.

“Pak Rasyid… soal imbalan itu, kira-kira berapa angkanya?”

Rasyid diam sekaligus tertegun. Belum ada tindakan, Belum ada negosiasi resmi dan Belum ada perubahan apa pun, Tetapi permintaan imbalan sudah muncul.

Ia bisa mendengar suara Reno di kejauhan, seolah memberi aba-aba;

“Tananyakan Nominal yang jelas ! Tanyakan sekarang! Jangan tunggu!”

Rasyid menutup matanya sebentar, sebagai kepercayaan Pengusaha tidak mudah tersinggung, Tetapi ia tahu kapan seseorang menunjukkan wataknya.

“Malik,” kata Rasyid perlahan, “pekerjaan belum dimulai.

Anda sudah bicara angka. Apa itu prosedur kalian?,

Itu obrolan malam merupakan itikad baik kami jika sudah selesai dan segel sudah di lepas, jika mau tahu nilainya, kami samakan ketika kami berbicara di depan para penegak hukum peraturan daerah, angkanya sebesar 100 juta.

Malik terdiam. Tidak mampu menjawab. Reno di belakangnya terlihat senyum penuh kemenangan.

PENUTUP : INTRIK YANG MELEBAR DAN KEPUTUSAN SEORANG PENGUSAHA

Situasi itu membuka mata Harlan. Ketua Komisi DPRD memainkan tekanan untuk kepentingannya. Ormas dan LSM memperjualbelikan pengaruh. Ketua forum Wartawan lokal memanfaatkan isu untuk menambah pemasukan.

Aspri datang membawa bayangan lain yang lebih gelap.

Ketua organisasi pemuda itu seperti hiu kecil yang mengitari bau darah.

Baca Juga   Cerita Fiksi " Bayang-Bayang Ex Pasar Pisang"

Semua merasa punya hak untuk mengambil bagian dari masalah yang menimpa Harlan.

Semuanya ingin bagian dari ketakutannya. Semuanya ingin bagian dari kelelahan dan kebingungannya.

Tetapi Harlan bukan tipe orang yang menyerah pada tekanan.
Ia tahu satu hal: Ketika semua orang meminta, saat itulah ia berhenti memberi.

Malam itu, Harlan duduk di beranda rumahnya. Ia menatap ke kejauhan, ke arah gudangnya yang masih tertutup garis kuning itu. Namun kini ia tidak lagi melihat segel sebagai masalah administratif.

Segel itu adalah cermin kekuasaan,
Cermin kerakusan,
Cermin bagaimana politik kecil di sebuah kota dapat berubah menjadi medan berburu.

Baginya dunia usaha bukan tempat untuk orang rapuh.

Ia sudah melihat banyak model manusia: yang berani, yang rakus, yang setia, dan yang menjual apa saja termasuk “loyalitas.”

Maka ketika Aspri menanyakan imbalan kepada Rasyid, pikirannya merumuskan kesimpulan cepat:

1. Orang ini tidak bekerja untuk membantu Tapi ia bekerja untuk mengail. Sebelum bekerja sudah menagih, maka setelahnya pasti akan lebih parah.

2. Mereka berdua bukan solusi, melainkan gerombolan baru yang ingin memeras.

3. Kalimat candaan orang kepercayaannya telah dimanfaatkan sebagai tiket pemerasan.

4. Integritas Aspri retak, dihancurkan oleh temannya sendiri.

Harlan mendesah lirih. Ia sudah memutuskan:

Masalah ini bukan lagi soal segel gudang.
Ini tentang siapa yang pantas diajak berjalan dan siapa yang harus disingkirkan dari lingkar kepercayaan.
Ia tahu, satu babak baru intrik politik dan kriminal sudah membuka diri.

Permainan belum selesai. Tetapi Harlan sudah tahu siapa yang harus didekati, siapa yang harus dijauhi, dan siapa yang akan jatuh oleh permainan mereka sendiri.

Karena dalam dunia yang dipenuhi bayangan, orang yang tidak ikut menjadi bayangan justru akan melihat segalanya lebih jelas.

Penulis ARDHI MORSSE, KAMIS 27 NOVEMBER 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *