Cerita Fiksi ” Bayang-Bayang Ex Pasar Pisang”

Langit pagi itu mendung. Asap dari puing kayu yang dibakar masih mengepul, menyisakan bau hangus yang menusuk hidung.

Di antara reruntuhan lapak, Anton, lelaki 38 tahun berjaket kulit kusam, berdiri terpaku. Sepasang matanya sembab, pipinya basah meski bukan karena hujan.

Advertisements

“Dari sini aku mulai,” lirihnya. “Dan dari sini juga aku dipaksa selesai.”

Dua belas tahun Anton mengais rezeki di Pasar Pisang, menjual pisang kepok dan susu segar. Ia dikenal ramah, tak pernah memaksa pembeli, dan selalu menyelipkan seulas senyum walau dagangan kadang tak habis.

Kini, semua tinggal puing. Pasar digusur demi proyek pembangunan pusat niaga modern. Surat pemberitahuan datang hanya seminggu sebelum alat berat datang. Tak ada musyawarah, tak ada tempat relokasi. Hanya satu kalimat: “Demi kemajuan kota.”

“Apa kota hanya maju kalau kami tergusur?” gumam Anton, menggenggam tanah bekas lapaknya.

Di belakangnya, seorang anak kecil—isma, putrinya yang duduk di kelas 2 SMK—memeluk ransel sekolah. “Ayah, kita dagang di mana besok?” tanyanya polos.

Baca Juga   Cerita Fiksi : segel yang di beli: tangan-tangan gelap menagih upeti

Pertanyaan itu menghantam Anton lebih keras dari palu godam. Ia tak punya jawaban. Tabungan habis untuk sewa kontrakan sementara. Lapak baru? Tak ada. Bantuan? Hanya janji di atas kertas. Hidupnya terkatung.

Tapi Anton tahu, menyerah bukan pilihan. Ia tak ingin anaknya tumbuh dalam dendam atau putus asa.

“Ayah belum tahu, Nak,” katanya lembut. “Tapi kita tetap bisa jualan, meski tak lagi di pasar. Yang penting, kita jujur dan tak menyerah.”

 

( Cerita ini adalah fiksi belaka. Nama, tempat, dan kejadian yang digunakan hanyalah hasil imajinasi dan tidak memiliki hubungan dengan kejadian atau individu yang nyata. Jika terdapat kesamaan, itu semata kebetulan.)

Penulis : Anton TEEF

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *