Kebenaran Di Kubur Fitnah : Antara Cinta dan Darah

Cerita Bersambung, Kisah perjuangan Hidup, Cinta dan Masa depan, Bagian ke 6 (Enam) pendakian terindah, hilangnya Arah Kompas Rumah Tangga

Di balik awan tebal dan jalan terjal, Tuhan menitipkan pelajaran: bahwa cinta tak selalu menyelamatkan, tapi menguatkan mereka yang tetap memilih tinggal.

Malam itu, Aris duduk sendiri di teras, hanya ditemani kopi yang tidak disentuh dan rokok yang sudah mati di jari.

Advertisements

Difitnah oleh orang yang katanya ustadz, Dibela oleh istri yang diam.

Bisik batinnya. Ia menyadari, bukan makhluk halus yang mengganggu rumah tangganya, Tapi prasangka dan kepercayaan buta pada hal mistis yang dijadikan senjata oleh orang-orang yang takut kehilangan kendali.

Malam semakin larut, Aris masuk ke kamar, lalu duduk di ujung ranjang, tubuhnya lelah tapi pikirannya berkecamuk. Ditta masuk ke kamar, melepas kerudungnya, lalu menatap suaminya yang diam seperti patung.

Bang kamu marah?

tanya Ditta pelan.

Aris menoleh pelan, matanya lelah, bukan karena kurang tidur, tapi karena terlalu banyak menahan.

Ditt, aku tadi dituduh oleh ustadz kampung itu, Katanya aku bawa ilmu ghaib, makhluk dan sesuk dari paman. Aku tanya, “Kalau benar, bersihkan aku sekarang juga, Tunjukkan kalau kamu bisa, Tapi dia diam. Nggak berani ngapa-ngapain. Tahu kenapa? Karena dia Cuma bicara omong kosong. Supaya dipercaya ibumu. Supaya dapat amplop.”

Ditta menunduk. Ia tahu, dalam lubuk hatinnya Aris tidak seperti yang dikatakan orang-orang. Tapi tekanan dari ibunya begitu besar.

Bang kamu harus mengerti, Ibu itu sudah terlalu percaya sama yang begitu-begitu dari dulu. Aku juga kadang bingung sendiri…

Airs menarik napas, menatap istrinya dengan mata yang sayu tapi tegas.

Kalau aku dianggap bawa kiriman janda masa lalu, Ditt, kenapa kamu tetap mau nikah sama aku waktu aku jujur dan nunjukin foto itu dulu?

Ditta tidak menjawab. Ia duduk di samping Airs, mengelus tangan suaminya. Di matanya ada kebingungan, ketakutan, dan sedikit rasa bersalah.

Beberapa hari kemudian, ibu Ditta memanggil ustadz itu ke rumah. Ia duduk di ruang tamu sambil membawa tas kecil berisi botol air, daun bidara, dan minyak gosok. Aris baru pulang kerja dan langsung menyadari bahwa ada acara ritual kecil di ruang tamu rumah itu.

Masuk aja, Mas Aris,

ujar sang ustadz dengan senyum sinis.

Aris mengangguk datar. Ditta berdiri di dekat dinding, wajahnya gelisah. Tak lama, ibu Ditta mendadak menggigil dan teriak-teriak tak karuan.

Panas panas ada kiriman! Di rumah ini ada aura jahat! Dari lelaki itu!

Ia menunjuk Aris. Sang ustadz langsung berdiri, mulai membaca ayat-ayat pendek sambil mengibaskan daun, Tapi Aris hanya berdiri menatap dengan dingin.

Itu bukan kesurupan, Bang,

bisik Ditta pelan di samping Aris.

Itu pelampiasan Ibu, Ibu dari awal nggak pernah suka sama kamu dan semua ini hanya alasan agar bisa menyingkirkan kamu.

Aris mengangguk pelan.

Aku tahu, Tapi aku ingin kamu juga tahu, Ditt. Aku sudah capek jadi kambing hitam, Aku capek jadi bahan fitnah. Aku menikahi kamu, bukan keluargamu, Namun keluargamu menikahiku tanpa cinta.

Malam itu menjadi titik balik. Ditta menangis diam-diam di kamar, Aris memilih tidur di ruang tamu, tak ingin memperpanjang konflik.

Ia tahu, sebentar lagi akan tiba waktu di mana ia harus memilih:

bertahan dalam rumah yang sudah jadi ladang tuduhan, atau pergi demi menjaga akal sehat dan harga dirinya.

Cinta itu pendakian, Ditta. Tapi aku Tidak menyangka, kita harus mendaki di antara jurang kebencian yang dibentuk oleh orang yang paling dekat denganmu.

Ditta dan Aris adalah semesta kecil dalam kekacauan dunia; mereka tidak butuh peta pasti, cukup saling menggenggam walau Tidak tahu ke mana arah kompas membawa.

Baca Juga   H. Sachrudin Tutup Gelaran Festival Budaya Kota Tangerang 2022

Malam berlalu, Pagi hadir dengan suasana yang sunyi dan Kelabu. Aris belum sempat menghabiskan kopi paginya ketika sang istri, Ditta, menyampaikan permintaan ibunya.

Bang, ibu minta tolong, antar ayah dan ibu ke tempat pengobatan adik nanti aku ikut bersama abang juga, Katanya penting.

Aris hanya diam sebentar. Lelah dan ragu berkecamuk, tapi ia tetap menuruti.

Sepanjang perjalanan, ia menahan gemuruh di dadanya, namun iya tabah, ada istri yang mendampinginya, sedang mengandung anaknya.

Setiba di tempat ustadz kampung itu lagi, atmosfer kembali penuh aura yang dipaksakan mistis.

Sang ustadz, dengan tatapan seolah tahu segalanya, mengangguk dalam dan tiba-tiba berkata.

Saya melihat… ada roh dalam tubuh ibu ini… ini ruh dari ibunya Aris sendiri… ibu kandung Aris sudah meninggal, kan?

Aris langsung terpaku, muak dan marah menjadi satu.

Apa?!

suaranya meninggi.

Ibu saya masih hidup! Masih sehat, masih sholat dan berkebun di rumahnya!

Tapi ustadz itu tetap melanjutkan teatrikalnya, memutar balik kenyataan seakan sedang mendalangi drama spiritual.

Tidak… tidak semua yang hidup itu benar-benar hidup…

Darah Aris mendidih.

Langit siang terasa runtuh.

Ini bukan sekadar tuduhan, ini penghinaan atas darah dagingnya dan lebih dari itu, ini fitnah keji yang mencoba membunuh akal sehat.

Aris berdiri, menatap ustadz itu lurus.

Kalau kau benar, kalau kau bisa bicara dengan dunia gaib, kenapa kau harus bohong dan bawa-bawa ibu saya yang masih hidup? Apa kau pikir saya bisa diam terus? Hari ini cukup! Cukup mainan setan dan tipu daya ini!

Ustadz itu mundur setapak. Ibu mertuanya pura-pura terguncang, matanya sayu seperti mau pingsan, Tapi Aris tak lagi peduli.

Ia meraih tangan Ditta yang ikut menyaksikan semuanya.

Ditta, kita hidup di dunia nyata. Aku capek, capek difitnah, capek jadi kambing hitam. Kalau kamu masih percaya padaku, mari kita tinggalkan semua sandiwara ini.

Ditta masih terdiam. Ia melihat ibunya yang kembali ‘kesurupan’ dan ustadz yang membaca doa-doa dengan wajah muram penuh sandiwara.

Tapi ia juga menatap mata Aris, mata seorang lelaki yang hatinya mulai hancur oleh kedengkian yang tidak masuk akal.

Dan hari itu, untuk pertama kalinya Aris melawan bukan dengan sabar, tapi dengan ketegasan. Karena kadang, ketika kesabaran dibungkam oleh fitnah, keberanian adalah satu-satunya doa yang menjelma nyata.

Ustadz kampung itu masih duduk di atas sajadah kumal, mulutnya tak berhenti melontarkan “wahyu palsu.”

Matanya menatap Aris penuh keyakinan, tapi bukan keyakinan yang meneduhkan, melainkan keyakinan seorang penipu yang terlalu lama dipercaya.

Kamu, Aris… kamu bukan anak kandung dari istri pertama ayahmu. Saya lihat, kamu itu anak dari perempuan lain… dari masa lalu ayahmu. Itu sebabnya hidupmu berat, dan banyak makhluk mengikuti…

Aris terdiam sejenak, mata merah, badan gemetar, menahan amarah yang kian memuncak, amarahnya telah melewati batas kepala dan mulai merambat ke tulang-tulangnya.

Dengan suara pelan, penuh tekanan, Aris menjawab.

Dengar baik-baik, ustadz. Ayah saya hanya menikah sekali. Hanya dengan ibu saya dan beliau orang terhormat, tanpa pernah menorehkan luka atau aib pada keluarga.

Kau bukan orang pintar, Kau bukan penyembuh, Kau bukan pewaris ilmu langit. Tapi, Kau hanya pemakan amplop, yang menjual kebohongan demi dipercaya. Kau menipu orang tua yang sedang rapuh dan menjadikannya alat mengoyak rumah tangga orang. Kau biadab.

Ruangan itu mendadak sunyi. Ibu mertua Aris yang tadinya ‘kesurupan’ mendadak tenang, seolah kehabisan naskah drama.

Ustadz itu gelagapan, Tapi ia tak berhenti, dia tahu, satu-satunya cara mempertahankan posisinya adalah menyerang lebih dalam.

Baca Juga   "Echidna Paruh Panjang Attenborough Ditemukan Setelah 62 Tahun Hilang

Kamu membantah karena setan dalam dirimu kuat Aris! Bukan saya yang bohong, tapi kamu yang menolak kebenaran!

Aris tertawa, Getir, Sakit. Tapi penuh ketegasan.

Kebenaran macam apa yang lahir dari fitnah, dari uang, dari imajinasi yang memalukan? Kau tuduh aku anak haram, kau bawa-bawa orang tuaku, kau ganggu istriku. Kau bukan ustadz. Kau pembohong berkedok surban!

Ditta menggenggam tangan Aris erat-erat. Ia gemetar.

Di sudut ruangan, ayah Ditta, lelaki pendiam yang selama ini hanya diam, akhirnya membuka suara, lirih namun tegas.

Cukup… Sudahi semua ini…

Dan pada saat itu, ruangan terasa berat. Tidak oleh setan. Tapi oleh kenyataan bahwa terlalu banyak kepalsuan telah ditumpuk, dan seseorang akhirnya memilih berdiri melawan.

Aris memegang erat tangan Ditta. Sorot matanya tak lagi bisa menyembunyikan amarah, Nafasnya naik turun, dada bergemuruh. Ia tak pernah semarah ini sebelumnya.

Ditta, kita harus pergi dari rumah ini. Sekarang juga. Ibumu dan ustadz itu bukan hanya mencemarkan namaku, tapi juga menyeret kehormatan orang tuaku. Aku tidak akan diam.

Ditta menatap suaminya, mata basah oleh ketakutan dan kesedihan, tapi ia mengangguk perlahan.

Aku ikut, Bang. Aku lelah… aku hanya ingin tenang bersamamu.

Akhirnya Aris pulang duluan ke rumah mertuanya bersama Ditta untuk bersiap-siap meninggalkan rumah demi mempertahankan keutuhan rumah tangganya.

Fitnah itu seperti racun yang disebar lewat doa palsu. Saat ibuku yang masih hidup disebut telah mati dan merasuk ke tubuh mertua, aku tahu, ini bukan lagi rumah, ini medan luka. Maka aku pergi, bukan karena lemah, tapi karena semesta pun menunduk. Langit menangis seperti hati yang dipatahkan tanpa sebab… seperti hati Ditta yang terjepit di antara cinta dan darah.

TERJEPIT ANTARA CINTA DAN DARAH.

Sesampainya di rumah mertuanya, mereka langsung masuk kamar, tanpa banyak bicara, Aris mulai mengemasi barang.

Kardus-kardus bekas yang dulu menyimpan buku kini kembali dipakai, Koper besar diisi pakaian. Laptop, sepatu, buku-buku ikut masuk.

Dalam keheningan malam, mereka bekerja cepat, menahan emosi yang belum reda sepenuhnya.

Tiba-tiba….

BRRRAAAAKKKKKKK!!!

Pintu kamar mereka ditendang keras dari luar, hingga daun pintu memantul ke tembok.

Suara bentakan melengking memenuhi kamar.

Tentu! Berikut adalah teks yang telah diubah ke huruf kecil:

dasar kau, aris! orang tak tahu diuntung! sudah kami terima di rumah ini, kau mau melarikan anakku?! kau kenapa bawa-bawa nama orang tuamu segala? kau mengandalkan ilmu gelapmu itu, ya?!

Ibu mertua Aris berdiri di ambang pintu, rambutnya sedikit berantakan, wajah merah padam penuh amarah dan… kebencian. Di belakangnya, adik Ditta yang sakit duduk terdiam di kursi roda, menatap sepi.

Ditta menunduk, gemetar Tapi Fikri berdiri tegak.

Saya tidak lari, Bu. Saya menyelamatkan rumah tangga saya. Menjauhkan istri saya dari fitnah, kebencian dan manipulasi berkedok agama. Kalau ini rumah Ibu, saya pergi. Tapi Ditta ikut saya, dia sedang mengandung anak saya dan dia istri saya, bukan tawanan Ibu!

BERANI KAU MELAWAN AKU DI RUMAH INI?!

Saya melawan kesewenang-wenangan. Saya melawan fitnah, Saya melawan ustadz palsu dan orang yang terlalu lama merasa berhak atas hidup orang lain.

Ibu mertuanya menjerit, melontarkan sumpah serapah dan doa buruk, tetapi Aris tetap diam.

Hanya Ditta yang perlahan memeluk lengan suaminya, air matanya jatuh tanpa suara.

Sudah numpang! Makan, minum gratis! Tidak tahu balas budi! Apa yang kamu kasih selama ini? Cuma benalu!

Ucapan itu meledak seperti granat di telinga Aris. Ibu mertuanya tetap berdiri di depan pintu kamar, matanya memerah, tangannya menunjuk ke wajah Aris seolah dia penjahat yang paling durhaka.

Baca Juga   Cerita Fiksi “tanggal merah tak pernah sampai, yang libur hanya mereka”

Aris hanya diam, Nafasnya berat. Tapi hatinya bukan lagi air, bukan juga api. Ia sudah menjadi batu. Batu yang terluka, tapi tetap berdiri.

Bu, tiap saya gajian… yang pertama saya pikirkan adalah Ibu dan Bapak, Saya kasih. Kadang lebih banyak dari kebutuhan saya sendiri. Tapi kalau semua itu dianggap tidak ada, ya saya tidak bisa paksa Ibu untuk melihatnya.

ucap Aris pelan tapi tegas.

Itu Cuma alasan! Anak saya sedang hamil dan kau mau bawa dia pergi?! Kau itu Cuma menantu! Menantu tidak tahu diri! Mau menyiksa anakku terus? Kalau kau mau pergi, PERGI SENDIRI! Tinggalkan dia di sini!

Ia menoleh ke arah Ditta.

Ditta lemah, duduk di pinggir ranjang, memegang perutnya, lalu meraih dahinya. Wajahnya pucat. Nafasnya tersengal.

Bang… aku… pusing… mual… maaf… mungkin malam ini aku belum bisa ikut… abang pergi duluan ke kontrakan. Aku nyusul nanti, sehari dua hari… ya?

Dunia Aris mendadak hening. Tak ada suara lain. Hanya denyut jantungnya sendiri.

Ia memandang perempuan yang telah memilihnya, yang kini sedang mengandung darah daging mereka, namun terkurung dalam perang yang tidak pernah ia minta.

Ia mendekati ranjang, mencium kening Ditta dengan lembut dan berbisik.

Aku pergi… tapi aku akan tunggu kamu Dimana pun. Selalu.

Malam itu, Aris membawa satu koper, satu ransel, dan segenggam luka yang tidak bisa dijelaskan dengan kata.

Ia keluar rumah tanpa menoleh ke belakang. Rumah yang dulunya dianggap tempat bernaung, kini terasa lebih asing dari hutan belantara.

Ia berjalan menuju kontrakan, diiringi cahaya bulan yang sepi. Di dalam kepalanya, hanya ada satu hal:

Aku tidak lari dari keluarga. Aku hanya lari dari kebencian.

Aku diam.

Bukan karena tak mampu bicara,

Tapi karena kata-kata tak punya kuasa saat kebenaran dikubur oleh fitnah.

Ibu yang melahirkanku, masih hidup.

Masih mendoakanku setiap malam.

Namun di rumah ini, namanya dikubur dengan dusta.

Dituduh telah mati, lalu merasuk ke tubuh seorang ibu yang justru menjadi sumber segala luka.

Astaghfirullah…

Di mana Tuhan dalam ucapan mereka?

Di mana hati yang seharusnya penuh kasih?

Rumah ini pernah kutaburi harapan.

Kutarik nafas dalam-dalam setiap pagi,

Meyakinkan diri bahwa cinta akan tumbuh,

Bahwa keluarga akan menerima.

Tapi ternyata…

Yang tumbuh adalah tuduhan,

Yang mengakar adalah kecurigaan,

Dan yang berbunga adalah kebencian.

Malam ini aku pergi.

Bukan karena kalah,

Tapi karena ingin menyelamatkan yang tersisa dari diriku.

Aku genggam tangan istriku, Namun bahkan ia pun gamang terjepit antara cinta dan darah.

Aku tak ingin memaksanya.

Cinta sejati tak pernah memaksa.

Aku hanya ingin menyelamatkan cahaya,

Sebelum semuanya menjadi gelap sepenuhnya.

Langit malam ini sunyi.

Tapi aku tahu, semesta sedang menangis bersamaku.

Dan dalam dada seorang lelaki yang dipaksa memilih antara harga diri dan cinta, ia memilih keduanya. Tapi harus berpisah sementara. Demi selamatnya masa depan.

======Bersambung=====

ARDHI MORSSE. MINGGU, 22 JUNI 2025

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *