Cerita Bersambung, Kisah perjuangan Hidup, Cinta dan Masa depan, Bagian ke 3 (Tiga) pendakian terindah, hilangnya Arah Kompas Rumah Tangga.
_“Hari-hari pertama pernikahan bagaikan musim semi setelah hujan panjang, penuh bunga, basah oleh cinta, dan hangat oleh matahari harapan.”_
====================
Setelah hari pesta pernikahan yang meriah dan penuh kebahagiaan, Aris resmi tinggal di rumah orang tua Ditta. Ia datang hanya membawa satu tas ransel besar berisi beberapa stel pakaian dan seragam serta sepatu kerja.
Meski rumah mertua kini juga menjadi tempat tinggal bersama Istrinya, Aris Masih pulang-pergi ke rumah orang tuanya. Karena dari pakaian harian,sepatu, hingga barang-barang penunjang kerja belum di pindahkan kerumah mertuanya.
Bulan pertama pernikahan mereka diisi dengan kehangatan dan penuh canda tawa.
Rumah itu seperti dinaungi oleh kebahagiaan yang tidak ada habisnya.
Ditta, dengan senyum lembutnya, selalu menyiapkan sarapan sebelum berangkat mengajar di sekolah swasta elit. Aris, meski terbiasa hidup mandiri, mulai terbiasa menyambut pagi dengan aroma kopi dan suara lembut memanggil bersama pelukan dan kecupan istrinya.
Hubungan pengantin baru itu semakin intim dari hari ke hari. Tidak hanya tubuh mereka yang bersatu, tetapi juga jiwa yang saling terikat.
Hubungan suami istri mereka berlangsung dengan penuh gairah dan rasa cinta, kadang di pagi hari saat dunia baru terbangun, kadang siang saat Ditta pulang sebentar untuk istirahat, bahkan malam ketika dunia mulai tenang dan hanya suara jantung yang bicara.
Gelora cinta sepasang pengantin baru itu memang masih menyala dengan terang, apalagi keduanya punya kesibukan dan kegiatan yang padat, sehingga ketika bertemu saling mengisi dan melepaskan rindu.
Meski kesibukan masing-masing kian padat, mereka tetap menemukan waktu untuk saling menyentuh, saling merindu.
Ditta sibuk mengajar dari pagi hingga sore, kadang membawa pulang pekerjaan koreksi dan administrasi ssekolah. Sedangkan, Aris sendiri mengalami mutasi internal, Dari sebelumnya menjadi petugas lapangan penegakan perda, dipindah menjadi staf humas kecamatan karena kemampuannya mengolah dokumen digital, membuat video dokumentasi kegiatan camat, hingga merapikan laporan keuangan dan pengarsipan proyek lapangan.
Ruang kerja Aris kini penuh dengan kamera DSLR, Dron, laptop editing dan tumpukan proposal kegiatan kecamatan.
Ia merasa dihargai di bidang humas, walau beban kerja tidak sedikit. Namun, di setiap tumpukan laporan dan jadwal padat itu, selalu ada alasan untuk pulang cepat: Ditta
*Aris menyadari itu semua, karena bang Ramon senior Mapalanya selalu berkata,*
_“Aris, Sebagai Keluarga besar mapala, abang berpesan, kau harus lebih banyak belajar dari para senior yang lebih dulu berumah tangga, Setiap yang baru itu Seperti sebuah pendakian, jalan awal yang rata dan mudah hanyalah permulaan. Dalam diam, badai kecil akan mulai berembus perlahan bukan hanya dari luar rumah, melainkan dari dalam keluarga itu sendiri.”_
===============
Hari-hari berlalu begitu cepat, Aris mulai terbiasa dengan dinamika di rumah mertuanya.
Kegiatan dan pekerjaannya di kantor kecamatan makin banyak dan menyita waktu, terutama setelah ia dipercaya sebagai tangan kanan camat dalam segala urusan dokumentasi dan komunikasi publik. meskipun lelah, ia mulai merasa rumah mertuanya benar-benar menjadi tempat pulang, bukan sekadar singgahan.
Mertuanya yang laki-laki tetap menjadi sosok pendiam, berbicara seperlunya dan Tidak banyak komentar, serta tidak banyak nasihat. Ia lebih senang menyapu halaman, membersihkan rumah atau memperbaiki keran bocor di dapur. Sosok sederhana yang justru memberi ketenangan.
Sedangkan ibu mertua… masih tetap datar seperti banyak yang di tahan. Tidak menyambut hangat, tapi juga tidak memusuhi. Ia lebih banyak mengamati dari kejauhan, seperti menunggu sesuatu. Entah menunggu Aris berbuat salah atau menunggu waktu untuk menguji ketulusan menantunya itu.
____________________
Suatu sore, setelah hampir tiga bulan tinggal bersama, Aris memutuskan untuk memindahkan seluruh barang-barang kesayangannya dari rumah orang tuanya ke rumah mertuanya. Sebuah keputusan simbolis, menandakan bahwa dirinya telah memilih rumah ini sebagai pusat hidupnya kini.
Ia membawa barang-barang di kamarnya seperti Pakaian, Sepeda gunung kesayangan, yang selama ini disandarkan di teras rumah ibunya, hingga Puluhan buku koleksi pribadi, yang menempati dua kardus besar: kumpulan pidato Bung Karno, buku-buku karya Tan Malaka, catatan harian Soe Hok Gie, hingga jilid-jilid filsafat dari Nietzsche, Sartre, sampai Al-Ghazali.
Setelah barang-barang tiba di rumah mertuanya, Ditta membantu menata semuanya di kamar mereka yang tidak begitu luas, dengan rak tambahan yang dibuatkan oleh Aris dari kayu.
Kini kamar itu tak hanya menjadi tempat tidur, tapi juga semacam markas kecil: ruang kerja, perpustakaan pribadi dan tempat bertukar mimpi.
*Dalam sunyi, Angin sejuk menyapa insan yang penuh kebahagiaan,*
_“Gunung mengajarkan ketabahan, sungai mengajarkan kelapangan, dan rumah pengantin baru merupakan pertemuan keduanya: tempat cinta mengalir sekaligus mengakar.”_
===================
*“DUNIA BARU: ZIARAH, PENGAJIAN DAN KEBAHAGIAAN SPIRITUAL”*
Tidak disangka, setelah melewati masa-masa adaptasi, Aris menemukan kegemaran baru, yaitu ziarah dan pengajian.
Ia mulai mengikuti pamannya, H. Gunawan, seorang pria berusia sekitar 50-an yang bersahaja namun penuh wibawa. Sang paman merupakan sosok yang dikenal sebagai orang alim dan bersahaja, yang gemar mengunjungi makam para ulama, wali, hingga tokoh-tokoh leluhur kerajaan yang dulu berpengaruh di provinsi mereka.
Awalnya Aris hanya ikut karena di minta tolong untuk menemani sang paman agar bisa bergantian bawa kendaraan, karena sang paman sering mengajak Aris di waktu luangnya, lama-lama ia merasa menemukan dunia baru antara idealisme masa mudanya dan kebahagiaan spiritual yang selama ini jarang ia sentuh.
Setiap ziarah bersama sang paman, itu memberikan makna baru bagi Aris tentang kefanaan, tentang perjuangan, serta tentang kebesaran jiwa para tokoh yang tidak hanya berjuang di medan sosial, tapi juga di medan batin spiritual
Selain sering ikut Ziarah, Aris juga mengikuti pengajian bersama pamannya, ia mulai menghafal bait-bait hikmah dari ulama besar, karena Ia masih menyimpan semangat aktivis, secara perlahan mulai dibingkai dalam kaca mata keikhlasan dan penerimaan, Dunia tidak lagi hanya hitam-putih seperti dulu saat dia masih mahasiswa.
_“Cinta dan Dunia baru seperti ladang yang baru ditanami, butuh kesabaran, perhatian, Pembelajaran dan kehangatan untuk tumbuh menjadi panen kebahagiaan.”_
=================
*“LANGIT RETAK DI ATAS ATAP YANG SAMA”*
Makin hari, Aris semakin dipenuhi tumpukan pekerjaan, Sebagai staf humas merangkap dokumentator dan pengarsip kegiatan kecamatan, tanggung jawabnya nyaris tidak ada habisnya.
Ia menjadi orang kepercayaan camat dalam setiap agenda, mulai dari membuat video kegiatan musrenbang, menyusun laporan keuangan proyek drainase, hingga menulis sambutan untuk acara dinas.
Jam kerja seharusnya selesai pukul empat sore. Namun nyatanya, Aris kerap baru meninggalkan kantor saat adzan isya berkumandang, Bahkan kadang lewat. Ia selalu memastikan untuk memberi kabar ke Ditta. Sebisa mungkin ia sempatkan video call meski hanya lima menit, Saling sapa dengan senyum lelah tapi tulus.
Ditta sangat mengerti, Ia tahu sosok suami yang selalu menjaga kepercayaan dan penuh tanggung jawab.
Ia paham betul betapa seriusnya suaminya menjalani peran barunya itu.
Ia Tidak pernah sekalipun mengeluh, bahkan menyiapkan makanan hangat tiap Aris pulang.
*Namun, yang Tidak ia duga, bukan Ditta yang berubah, Tapi ibu Mertua.*
Mertua perempuan mulai menunjukkan sikap yang berbeda terhadap Aris.
*Tidak meledak-ledak, tapi menusuk dalam diam, Tatapannya kini tajam setiap Aris pulang larut malam, Nada bicaranya mulai terdengar sinis saat sarapan, seolah-olah tiap suapan nasi merupakan amarah yang ditahan.*
_”Alam mengajarkan bahwa badai datang bukan untuk tinggal, tapi untuk menguji akar. Tuhan menciptakan semesta penuh pertanda, bahwa tidak semua perubahan datang dari kebencian, kadang dari hati yang belum sembuh. sebab langit pun tidak selalu menjawab dengan petir.”_
__________________________
Suatu malam, Aris baru pulang pukul setengah sebelah malam. Hujan gerimis membasahi bahunya, Sepeda motornya penuh lumpur dari proyek di wilayah kelurahan.
Sesampainya di rumah, ruang tamu rumah terlihat gelap, penghuni rumah sudah tidur, Ia mendorong motor parkir perlahan, membuka pintu pagar kecil dan mengetuk pintu.
Ketika lampu ruang tengah di hidupkan, lalu pintu di buka, Aris kaget, ternyata yang membukakan pintu bukan Istrinya, Ditta.
Tapi ibu mertuanya,
*Dengan wajah tanpa senyum dan nada sinis, Ibu mertuanya berkata:*
_“Kerja Apa setiap hari sampai larut malam, Istri ditinggal sendirian, suami macam apa kamu?”_
*Aris menunduk sebentar, menahan napas,*
_“Ditta tadi Sudah saya hubungi, Bu. juga video call ketika sedang membuat laporan di kantor.”_
*Ibu mertuanya mendengus kecil,*
_“Video call, video call… itu bukan jadi suami, Asal kamu tahu Rumah ini bukan kantor.”_
Aris tidak membalas. Ia hanya mengangguk, masuk perlahan, meletakkan tas dan jaketnya di kursi dekat meja dapur.
*Ditta keluar dari kamar, menatap Aris dengan wajah cemas. Tapi Aris hanya tersenyum, menepuk pundak istrinya, lalu berkata lirih,*
_“Gak apa-apa, Dit. Aku Memahami sikap Ibu.”_
Di kamar, malam itu, Aris tidak banyak bicara.
*Ia hanya duduk menatap rak bukunya, karya-karya Tan Malaka dan Soe Hok Gie yang dulu jadi bara semangat perlawanan, kini seolah hanya menatapnya diam… seakan berkata:*
_“Perjuangan di medan rumah tangga lebih senyap, tapi juga lebih dalam Dan Tuhan menciptakan malam bukan untuk menyembunyikan kebaikan, tapi untuk menguji siapa yang tetap setia pada cahaya.”_
_BERSAMBUNG…._
ARDHI MORSSE, SENIN 16 JUNI 2025.*







