“Gunung mengajarkan bahwa ketenangan tidak ditemukan di puncak, tapi dalam keberanian mendaki bersama melewati badai.”
Hari-hari berlalu begitu cepat. Aris, yang semula mulai merasa nyaman, kini menghadapi tekanan yang sulit dijelaskan. Bukan dari pekerjaannya, bukan pula dari istrinya, tetapi dari satu sosok yang selalu ada di rumah: ibu mertuanya.
Tatapan sang mertua, yang dahulu biasa saja, kini tajam. Awalnya hanya memperhatikan, tapi sekarang seolah mengawasi dan menghakimi. Kalimat-kalimat sindiran berubah jadi tuduhan langsung yang menikam ulu hati.
Setiap pagi sebelum berangkat kerja, Aris selalu “disambut” ucapan seperti: “Kalian suami istri kerja dua-duanya, tapi rumah seperti kapal pecah. Kau suami atau benalu yang cuma numpang tidur?”
Dan saat makan malam: “Gaji kamu udah keluar belum? Jangan sampai istri kamu susah gara-gara kamu jadi suami pelit.”
Padahal Aris tidak pernah menahan gajinya. Ia selalu mengutamakan kebutuhan rumah tangga, bahkan orang tua istrinya—mulai dari uang dapur hingga belanja bulanan. Ditta tahu semua itu. Tapi Aris tidak pernah mengeluh, apalagi mengadu.
Bahkan saat ia membawa sembako lebih banyak dari biasanya, ucapan sang mertua tetap tajam: “Kamu belanja seperti itu mau pamer? Baru bisa beli minyak dua jerigen sudah merasa menantu terbaik?”
Aris memilih diam. Tapi diam yang lama-lama menjadi luka. Luka yang ia tuangkan dalam buku hariannya lewat puisi berjudul:
“Di Lereng Ketabahan”
Aku hanya batu yang terinjak,
Namun tak retak.
Aku juga pohon yang diterpa hujan,
Namun tak tumbang.
Aku tahu, langit menyimpan rahasia,
Dan semesta menyaksikan segalanya.
Fitnah adalah kabut pagi,
yang sirna saat mentari menyapa.
Mertuaku, engkau ujian,
Tapi bukan penentu takdir Tuhan.
Aku berjalan tanpa membalas,
Karena puncakku lebih luas.
Alam semesta tak menjanjikan jalan mudah, tapi menyimpan keindahan bagi mereka yang tak menyerah.
Ditta pun mulai merasa terjepit. Suaminya mencintainya, namun ibunya menjadi tembok yang terus mendorong dan menekan.
Beberapa malam terakhir, Ditta menangis dalam pelukan Aris.
“Aku bingung, Bang. Aku tahu Abang sudah berusaha. Tapi Mama… Mama seperti membencimu tanpa alasan.”
Aris mengusap rambut istrinya, menjawab pelan:
“Nggak apa-apa. Aku kuat, Ditta. Kita belum punya rumah sendiri, tapi kita masih bisa saling peluk dan menguatkan. Itu cukup.”
Namun jauh di dalam dirinya, Aris mulai menyiapkan dua hal: kesabaran dan rencana. Ia tahu, rumah ini bukan tempat selamanya.
Luka yang Disulut dari Lemari Privasi
Aris dan Ditta seperti dua pendaki di lereng terjal, terus berpegangan meski batu-batu kehidupan menghujani jalur mereka.
Hari itu mereka berangkat pagi. Aris membawa berkas ke kantor kecamatan, Ditta harus mengajar kelas tambahan. Rumah tampak sunyi—hanya terdengar radio kecil dari dapur dan sapu ayah Ditta menyapu halaman.
Tapi tidak semua sunyi adalah damai.
Saat rumah hanya berisi orang tua, ibu mertua Aris perlahan masuk ke kamar mereka. Ia membuka lemari, laci, dan bahkan tas Aris.
Di situlah ia menemukan foto lama—Aris muda dengan seorang perempuan lain. Bukan Ditta.
“Ini dia!” gumam sang mertua. “Sudah kuduga laki-laki ini bukan orang baik!”
Foto itu ia simpan—bukan untuk diam, tapi sebagai peluru.
Malam harinya, setelah makan malam, ia memanggil Ditta. Menyodorkan foto itu.
“Tuh lihat. Itu suamimu. Masih simpan foto perempuan lain. Itu yang katanya sudah dibakar? Bohong, kan?”
Ditta mengenal foto itu. Aris pernah menunjukkannya sebelum mereka menikah. Tapi kali ini, ibunya menyerangnya dengan kata-kata tajam.
“Rumah tangga seperti ekspedisi panjang, kabut kadang menutupi arah. Tapi kompas hati akan menuntun ke tujuan bersama.”
Malam itu Aris terdiam. Setelah isya, ia langsung berbaring. Ditta duduk di sisi ranjang, memeluk lututnya.
“Bang… Mama nemuin foto itu…”
Aris kaget. Ia membuka tas—dan benar, foto itu hilang. Wajahnya berubah tegang.
“Aku kira sudah kubuang, Dit. Aku lupa. Astagfirullah…”
“Aku tahu, Bang. Tapi Mama makin benci. Katanya Abang pembohong. Katanya aku buta cinta.”
Aris menggenggam tangan Ditta.
“Ditta… aku salah. Tapi kita sepakat dulu, masa lalu tidak untuk diulang. Tapi ini… privasi kita dilanggar.”
Ditta menunduk, air matanya jatuh. Bukan karena Aris. Tapi karena rumah ini bukan lagi rumah.
Aris tertidur dengan lelah dan kecewa. Tapi Ditta duduk di meja, menulis di buku harian:
“Aku di Antara Dua Langit”
Aku berjalan di titian senyap, di antara dua langit yang sama-sama menuntut:
Satu bernama kasih dalam ijab,
Satu bernama rahim yang menumbuhkanku.
Di dada suamiku, ada letih tanpa suara,
tapi matanya selalu penuh rumah.
Di mata ibuku, ada luka entah dari mana,
tapi suaranya menusuk seperti tombak masa silam.
Aku, hanya perempuan biasa,
Tidak sebijak awan, tidak sekokoh karang.
Aku ingin damai, di rumah yang kutempati,
di hati yang kusebut keluarga.
Namun ketika badai datang dari dalam,
dan petir menyambar tanpa sebab,
aku harus memilih:
Dia di tengah hujan atau merangkul keduanya walau kuyup dan gemetar.
Tuhan,
jika Kau beri dua cinta dalam hidupku,
mengapa keduanya saling menjauh dan membakar?
Tidakkah mungkin ada pelukan di antara mereka,
tanpa aku terbakar di tengahnya?Bersambung…
ARDHI MORSSE, SELASA 17 JUNI 2025













