SIDIKPOST | JAKARTA, Rabu lalu, stadion megah Gelora Bung Karno (GBK) menjadi saksi dari gelombang kegembiraan puluhan ribu penggemar musik yang membanjiri konser Coldplay. Namun, di balik sorotan gemerlap panggung, konser tersebut membuka tirai dari krisis etika yang tengah mengguncang Indonesia.
Dikutif dari ANTARA, Manajemen Coldplay mengungkap fakta mengejutkan terkait pengembalian Xyloband, gelang pintar yang menjadi ikon konser tersebut. Dari 80.000 penonton, hanya 18.400 yang mengembalikan Xyloband, sebuah angka yang signifikan menurut statistik, terutama jika dibandingkan dengan konser tahun-tahun sebelumnya yang mencapai 86 persen tingkat pengembalian.
Fenomena ini tak hanya mencetuskan pertanyaan terkait etika penggemar Coldplay di Indonesia, tetapi juga membuka diskusi luas tentang kejujuran di tengah masyarakat. Menurut Psikolog Perkembangan Anak, Remaja, dan Pendidikan, Theresia Novi Poespita Candra, pengembalian gelang konser bukan hanya soal barang fisik, melainkan juga mencerminkan krisis etika yang merambah ke perilaku sehari-hari.
Novi menyatakan bahwa krisis etika di Indonesia tidak terbatas pada pengembalian gelang semata, namun juga tercermin dalam perilaku sehari-hari. Contoh sederhana seperti membuang sampah sembarangan mencerminkan krisis etika yang melanda.
Peran era digital juga menjadi sorotan Novi. Teknologi telah mempercepat respons tanpa mempertimbangkan akibatnya. Dalam dunia digital, tindakan sekecil menghapus pertemanan secara impulsif dapat mencerminkan kurangnya pertimbangan terhadap emosi orang lain.
Dia menekankan bahwa keputusan etis diatur oleh korteks prefrontal otak manusia. Namun, penelitian menunjukkan kurangnya stimulasi pendidikan pada korteks prefrontal di kalangan anak usia 15 tahun ke atas, khususnya di kota-kota besar seperti Surabaya dan Jakarta.
Krisis etika yang tengah melanda Indonesia membutuhkan pemahaman mendalam akan dampak teknologi pada cara berpikir dan bertindak manusia. Peran teknologi yang mempercepat informasi juga berdampak pada kurangnya kemampuan untuk memahami emosi orang lain serta dampak dari tindakan yang diambil.
Diskusi ini menggugah kesadaran bahwa tidak hanya pengembalian gelang konser, tetapi juga tindakan sehari-hari merupakan cerminan dari krisis etika yang memerlukan perhatian serius dari semua kalangan untuk mengatasi permasalahan ini.
( SDP )