SIDIKPOST| Barusan ada diskusi mendadak dengan sejumlah teman tentang bagaimana memproduksi karya jurnalistik anak baru lulus SMA dilarikan lelaki beristri.
Modal diskusinya pemberitaan kompas.com seperti di bawah ini.
Obrolan sempat terputus karena Ketum PWI juga telepon diskusi soal kemerdekaan pers di Indonesia yang dikeluhkan Bappenas.
Kembali soal anak baru lulus SMA di Probolinggo yang dilaporkan ke polisi karena dibawa kabur tetangga sudah beristri, ternyata hasil tes urine positif hamil.
Pertanyaannya, apakah laporan polisi bisa dijalankan bila anak itu mengaku suka sama suka tanpa ada paksaan dalam melakukan hubungan seks ?
Bagaimana wartawan menyajikan atau membuat karya jurnalistik pada kasus seperti ini. Mengikuti aturan hukum atau pedoman pemberitaan yang seperti apa ?
Lulusan SMA pada umumnya usia sekitar 18 tahun. Ini adalah usia simpang jalan atau tikungan tajam antara status anak dan dewasa.
Wartawan harus kepo bertanya sedetail mungkin. Hal ini untuk menentukan apakah saat peristiwa hukum itu terjadi dia berstatus anak atau sudah dewasa.
Seperti dalam berita di atas, anak ini sudah positif hamil. Mungkin saat dilakukan tes kehamilan usia sudah melebihi 18 tahun, sudah dewasa.
Namun pertanyaan, usia kandungan sudah berapa pekan dan pembuahan atau hubungan seks pertama kapan, apakah pada usia sudah atau belum 18 tahun.
Bila hubungan seks dilakukan pada usia sebelum 18 tahun, maka itu masuk persetubuhan terhadap anak. Meski hasil terjadi pada usia dewasa.
Itu artinya laporan orang tua perempuan bisa dilanjutkan oleh polisi, meski si anak mengatakan apa yang menyebabkan kehamilan itu dilakukan tanpa paksakan dan suka sama suka.
Mengingat perbuatan pidananya pada usia anak namun terungkap saat dewasa, hukum yang digunakan tetap UU Perlindungan Anak.
Pemberitaan media menjadi di simpang jalan. Kasusnya sendiri disidik dengan UU Perlindungan Anak tetapi saat pemberitaan dibuat usianya sudah tidak anak lagi. Semoga kita bisa lanjut membahasnya !
Penulis : Kamsul Hasan