SIDIKPOST| Pria itu bernama Arga Pratama, ASN lapangan berusia 34 tahun yang setiap hari berangkat sebelum matahari terbit. Ia membawa motornya melewati gang-gang di wilayah Kota Tangerang, mengejar waktu, karena satu menit terlambat saja bisa berarti pemotongan tunjangan yang bahkan belum tentu cukup untuk membeli kebutuhan pokok akhir bulan.
Arga merupkan salah satu dari ratusan pegawai yang bekerja penuh waktu. Seragam PDL selalu rapi, muka selalu ramah, dan laporan E-Kinerja serta SKP harus selesai tepat waktu seolah dunia akan runtuh bila satu saja lembar tidak terisi.
Tapi setiap kali ia membuka amplop gajinya, perasaannya seperti runtuh. Tidak sampai tiga juta rupiah. Itu pun setelah dipotong sana-sini.
Setiap bulan, istrinya, Reni, selalu berkata dengan suara yang dibuat tenang, “Yang penting kamu tetap jujur dalam kerja. Rezeki nggak bakal salah alamat.”
Namun Arga tahu, ada kecemasan yang tak pernah istrinya ucapkan.Biaya sekolah anak dan kebutuhan keluarga semakin naik. Bayaran Listri, Air Kontrakan sudah tiga bulan menunggak. Beras kadang harus diirit.
Di kantor, Arga sering memperhatikan rekan-rekannya yang ASN paruh waktu. Mereka datang siang, pulang cepat, tak ada tuntutan Ekin atau SKP. Mereka tersenyum santai, dan di saat pencairan tunjangan, mereka menerima lebih dari empat juta.
Arga pernah bertanya dalam hati, “Bagaimana mungkin kami yang bekerja penuh justru menerima lebih sedikit dibanding mereka yang datang sesuka hati?”
Namun ia tidak pernah berani mengeluh. Karena di kantornya, mengeluh sering dianggap melawan.
BABAK BARU: SURAT PERINGATAN
Suatu pagi, Arga dipanggil sekretaris Dinas tempat Ia Mengabdi.Ruangan itu dingin, tapi suasananya panas.
“Mas Arga,” suara sekretaris datar, absen Anda kemarin kosong satu jam. Harap lebih disiplin. Ini bisa mempengaruhi tunjangan.”
Arga terdiam. Ia ingin menjelaskan bahwa kemarin ia terlambat karena harus membantu seorang nenek yang terjatuh di jalan. Tapi ia memilih diam.
Sebab dalam sistem, kebaikan tidak tercatat. Yang tercatat hanyalah absen.
Ia keluar ruangan dengan langkah goyah. Bukan karena takut pada surat peringatan, tapi karena hatinya mulai patah.
Sore itu, Arga duduk sendiri di pos ronda dekat kantor. Di tangannya, amplop gaji yang baru dibuka. Angka dibawah tiga juta menatapnya seperti ironi.
Di sisi lain lapangan kantor, ia melihat pegawai paruh waktu baru turun dari mobil mentereng. Tawa mereka menggema, bercanda soal liburan akhir pekan, seolah hidup adalah pesta panjang tak berujung.
Arga menunduk. Air matanya jatuh diam-diam, “Apa kami ini bukan manusia? Apa pengorbanan kami tidak dianggap penting?”
Pertanyaan itu menggerus dadanya.
FORUM RAPAT TERBUKA: SUARA YANG PECAH
Puncaknya terjadi saat rapat resmi bulanan di kantor. Ruangan penuh: kepal dinas, para perwira dan pejabat serta para ASN.
Di depan, ada spanduk besar bertulis:
“Menuju Aparatur Profesional dan Sejahtera.”
Kata “SEJAHTERA” itu terasa seperti EJEKAN. Ketika sesi aspirasi dibuka, tak ada yang berani bicara. Semua takut. Semua sudah terlalu lama diam.
Namun hari itu, Arga berdiri. Tangan bergetar, tapi mata mantap,
“Maaf, Pak. Izin berbicara.”
Ruangan seketika hening.
“Saya Arga, pegawai ASN lapangan. Izinkan saya menyampaikan kegelisahan teman-teman ASN penuh waktu. Kami bekerja penuh, absen harus sempurna, laporan menumpuk, dan pelayanan lapangan selalu menuntut kami ada di garis depan. Tapi gaji kami, mohon maaf, bahkan tidak mencapai UMR.”
Beberapa kepala menunduk. Beberapa yang lain saling melirik, “Di sisi lain, pegawai paruh waktu—yang tidak dibebani Ekin, tidak membuat SKP, tidak terikat penuh waktu—menerima tunjangan yang justru lebih tinggi.”
Arga menarik napas, “Kalau ini bukan ketimpangan, apa namanya, Pak?”
Ruangan mulai bergemuruh.
“Dan kami… kami juga menunggu janji anggota DPRD Kota Tangerang. Janji untuk meningkatkan kesejahteraan ASN. Janji untuk memperjuangkan hak-hak kami. Janji yang dulu begitu lantang…tapi entah menghilang ke mana.”
Arga memandang seluruh ruangan, “Mohon maaf, Pak…apakah kami harus terus diam, sementara kesenjangan ini semakin melebar?, Apakah kami tidak dianggap layak untuk hidup layak?”
Suasana rapat berubah tegang, namun mata sebagian peserta berkaca-kaca.
Hari itu, suara Arga pecah, tapi suaranya menggema jauh melebihi dinding ruangan.
HARAPAN DI TENGAH KETIDAKADILAN
Kisah Arga bukan sekadar cerita fiksi. Ia mewakili suara ratusan ASN lapangan yang terjebak dalam sistem yang timpang:
Tuntutan besar, pengakuan kecil, dan kesejahteraan yang jauh dari kata layak.Dan pada akhirnya, Arga hanya berharap satu hal:
“Jika kami diminta bekerja dengan penuh integritas, maka berikanlah kami kesejahteraan dengan penuh keadilan.”
Sebab pemerintahan yang kuat bukan diukur dari janji-janji, melainkan dari bagaimana ia memperlakukan mereka yang bekerja dalam sunyi untuk melayani rakyat.
(Penulis : ARDHI MORSSE, KOTA TANGERANG 17 NOVEMBER 2025)













