BAB I. Bukan Wanita Jalang, Hanya Realistis Soal Harga Kebersamaan
Malam di kota ini tak pernah benar-benar gelap. Lampu-lampu jalan berdiri kaku seperti saksi bisu kehidupan yang berjalan tanpa arah dan angin hanya menyibak gaun-gaun tipis yang lebih sering menyembunyikan luka daripada menggoda siapa pun.
Namanya KAMELIA. Tapi malam mengenalnya sebagai “Mawar”, sebutan yang diberikan oleh para lelaki yang tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Mereka hanya tahu kulitnya putih bersih, senyumnya tipis seperti silet yang mengiris pelan, dan tubuhnya hangat seperti gelas kaca berisi alkohol: bening, manis di awal, tapi membakar diam-diam.
Di siang hari, Kamelia hanyalah bayangan. Ia sibuk mengurusi anaknya sekolah, setelah mengantar sekolah sering nongkrong bersama ibu-ibu yang juga mengantar anaknya di sekolah yang sama.
Kamelia bukan wanita yang tumbuh dengan mimpi jadi penghibur. Ia dulu gadis sekolah yang bercita-cita jadi pramugari. Tapi mimpi seringkali kalah oleh kenyataan. Ketika kedua orang tuanya selalu bertengkar dan berakhir dengan perceraian, Kamelia tahu: hidup tak selalu memberi pilihan. Kadang hanya sisa-sisa.
“Kenapa kamu begini, Mel?” tanya seorang Ibu yang akrab karena sering bertemu ketika mengantarkan anaknya di sekolah yang sama.
“Begini tuh gimana?” jawabnya ringan, matanya menatap langit sambil tersenyum.
“Ya… begini, kerja malam. Kamu cantik, pinter… harusnya bisa kerja lain.”
kamelia tersenyum, lalu berkata pelan, “Aku bukan wanita jalang… aku Cuma realistis soal harga kebersamaan.”
Tak ada lagi tanya setelah itu. Mereka akhirnya mengobrol soal anak-anak mereka Seperti yang lain. Karena tak ada yang betah melihat wajah cantik yang terlalu jujur.
Malam itu, di sebuah hotel kelas menengah Kamelia berdiri di depan cermin. Lipstiknya merah. Di mejanya, sebotol parfum dan satu amplop tipis dari pelanggan yang katanya “kesepian dan melampiaskan nafsunya”. Di bawah cahaya lampu, kamelia terlihat seperti mawar dalam gelas kaca: indah, rapuh, dan tak bisa disentuh tanpa bayaran yang sesuai keinginannya.
Ia tahu waktunya tak panjang. Dunia tak pernah baik pada perempuan seperti dirinya. Tapi sebelum waktu benar-benar menjemput, ia ingin satu hal: dihargai bukan karena hanya sebatas kepuasan tubuh, tapi karena keberanian bertahan.
Keesokan harinya, kamelia duduk sendiri di depan teras kontrakannya, membaca berita di media sosial, sebuah artikel menyebutkan: “Meningkatnya jumlah perempuan malam Akibat kondisi ekonomi dan kesejahteraan yang merosot.”
Kamelia menutup handphonenya dan tersenyum getir.
“Ekonomi dan kesejahteraan? Negara bisa bicara Ekonomi dan kesejahteraan tapi korupsi menggila tanpa berpikir banyak masyarakat yang kelaparan.”
Kamelia kini bukan lagi gadis cantik pencari cinta, tapi janda dengan dua anak perempuan kecil yang sering tidur dalam pelukan dan mimpi buruk soal Kebutuhan hidup yang mendesak. Ia tak pernah minta hidup begini, tapi kenyataan tak menunggu izin siapa pupunl
Suaminya, Ronald, dulu tampak keren. Selalu tampil rapi, punya gaya, hobi nongkrong di kafe, bahkan tak segan mentraktir teman agar disebut “loyal”. Tapi di balik senyum percaya dirinya, Ronald adalah pecandu judi online, angka-angka yang menghisap pendapatannya, harapannya dan pada akhirnya juga kehormatan keluarganya.
Semua barang berharga sudah dijual. Bahkan cincin kawin pun sempat masuk daftar. Ketika Kebutuhan hidup terus mendesak, Ronald justru sibuk meminjam uang online demi melampiaskan kecanduannya terhadap Judi online.
“Aku masih bisa menang, Lia…” sabar dikit aja,” katanya sambil menyulut rokok terakhir, malam sebelum pergi dan tak pernah kembali.
Tinggallah Kamelia sendiri, di kontrakan sederhana dengan dua anak yang belum mengerti arti pengkhianatan. Hidup berubah cepat. Sebelumnya wanita rumah tangga dengan perawatan wajah dan aroma salon, kini berubah menjadi perempuan yang siang jadi SPG rokok, dan malam… entah wanita macam apa.
Tapi malam tak pernah bisa membohongi luka.
Di klub malam, di antara asap rokok dan dentuman musik yang tak punya lirik, kamelia berdiri dengan tubuh wangi dan langkah tegap. Bukan karena suka tapi karena butuh. Bukan karena jalang tapi karena dua anaknya harus tetap sekolah.
Dia tak pernah minta dihormati, tapi juga tak mau dihina. Di dunia yang menilai dari saldo dan status, ia memilih bertahan dalam diam.
Kadang, saat lelaki datang dengan rayuan dan amplop tipis, kamelia hanya tersenyum kecil:
“Aku bukan wanita penghibur yang bertarif Tinggi. Aku hanya tahu, hidup ini tidak pernah gratis. Termasuk kebersamaan.”
Sedangkan dirumah, dua anak kecil tertidur di kasur lantai. Dinding kontrakan lembab saat hujan, tapi mereka tetap tertawa saat Kamelia menyuap mereka nasi dan lauk kesukaannya.
“Aku pengen punya rumah, Ma,” kata anak sulungnya.
“Doakan Mama kuat ya,” jawab Kamelia, menahan air mata di balik senyum.
Karena pada akhirnya, tak ada perempuan yang lahir untuk menjual cinta, tapi dunia kadang terlalu jahat untuk memberi pilihan.
Kamelia makin lihai membaca arah sorot mata pria. Ia tak lagi percaya pada kalimat “Aku serius sama kamu”, sebab terlalu sering kalimat itu hanya pendahuluan untuk satu malam yang dibayar murah. Maka ia belajar menawar dirinya sendiri bukan harga tubuh, tapi harga waktu, harga kebersamaan, harga ilusi bahwa ia dicintai.
Ia punya syarat, “Aku hanya ingin yang muda, yang bawa mobil dan isi saldo tanpa banyak tanya.”
Bagi sebagian pria, itu kejam. Tapi bagi Kamelia, itu cara menjaga luka tetap tidak berdarah. Karena setiap hubungan tanpa transaksi hanya meninggalkan kecewa. Dan setiap senyum yang tidak dibayar hanya jadi cerita basi.
“Bisa puas kok,” katanya suatu malam saat di-chat oleh seorang pria muda yang pamer dashboard mobil mewah.
“Tapi aku nggak jual cinta. Hanya melayani hingga puas dan Aku cuma perlu jaminan kenyamanan serta saldo.”
Kalimat itu bukan kalimat Wanita penghibur, tapi kalimat seorang perempuan yang kehabisan ruang negosiasi dengan hidup.
================
Di cermin kamar kontrakan, kamelia menatap wajahnya sendiri. Masih cantik, meski mulai terlihat garis halus di bawah mata. Tapi bukan umur yang menua, melainkan jiwa yang lelah terus menjual senyum demi kehidupan bersama anak-anaknya.
Anak-anaknya tidur di kasur dengan nyenyak. Mereka tak tahu bahwa malam ini mama mereka dipanggil “sayang” oleh lelaki berbeda yang hanya dikenal lewat username dan transfer rekening.
Di sebuah hotel mewah, Kamelia erdiri di depan balkon, melihat langit yang sama sekali tak bersih. Pria di ranjang tertidur, puas dan mendengkur.
Sementara ponsel Kamelia berbunyi, notifikasi masuk dari bank:
“Transfer diterima. Rp 1.500.000 dari XXX.” Kamelia tak tersenyum. Ia hanya menghela napas.
Lalu menulis di notes-nya sendiri: “Kadang, cinta bukan lagi urusan hati. Tapi saldo ATM dan AC dingin yang tidak pernah bertanya: apa kau bahagia?”
BAB II. Peluh di Balik Parfum Mahal
Pagi datang dengan malu-malu. Matahari belum tinggi, tapi Kamelia sudah duduk di lantai kamar kontrakannya, masih dengan sisa make-up semalam. Wangi parfum mahal bercampur dengan Keringat dari tubuhnya yang semalaman bersama Pria di sebuah hotel.
Dua gadis kecil itu masih terlelap di kasur, memeluk satu sama lain seperti saling menjaga. Tak tahu bahwa malam tadi ibu mereka menari di antara peluh dan tatapan asing, demi sebuah saldo dan sewa kontrakan yang tak pernah turun harga.
Kamelia menatap wajah anak-anaknya, lalu membuka WhatsApp. Pesan-pesan masih mengalir:
“Pagi, sayang, masih di hotel?”
“Kapan kita ketemuan lagi? Aku bawa Alphard…”
“Transfer lagi ya? Kangen kamu, serius.”
Kamelia mendesah. Bukan karena bangga tapi lelah. Lelah dianggap benda, bukan manusia. Lelah karena semua hubungan harus diawali saldo dan ditutup dengan selimut hotel.
Ia tak pernah mau mencoba hubungan tulus, Baik itu Dengan Dokter yang sering mengajaknya makan malam.
Dengan seorang pengusaha kontruksi yang suka mengajaknya ke klab malam hingga mabuk. Tapi ketika mereka tahu latar belakangnya, dunia berubah. Laki-Laki berpendidikan profesi dan kaya hanya untuk perempuan sepadan.
Dan kamelia, di mata mereka, adalah perempuan yang tidak masuk dalam tingkat level atau kelasnya.
==================
Malam itu, Kamelia membuka obrolan dengan seorang pria yang jarang ia tanggapi.
Namanya Permana, Bukan pria kaya dan Bukan pula penggoda bersaldo.
Tapi satu-satunya yang tak pernah mempermasalahkan setiap apapun yang kamelia lakukan, bahkan tidak pernah bertanya berapa ukuran bra atau warna lingerienya.
Permana bertanya, “Kamu pernah capek jadi kuat terus menjalani profesimu ya?”
Kemelia menjawab, “Setiap hari, tapi desakan kebutuhan yang mengharuskan agar tidak mengeluh capek.”
Permana, kembali menjawab “Kalau kamu bukan wanita Penghibur. Kamu Cuma lelah jadi wanita baik yang selalu ditinggalkan.”
Kamelia terdiam lama, Itu pertama kalinya ia ingin menangis. Tapi tak bisa. Air matanya sudah lama habis untuk suami yang berjudi, untuk orang tua yang yang sudah tiada dan untuk para lelaki yang datang dengan mobil tapi pergi tanpa pamit.
Lalu permana menyampaikan, “Aku enggak punya mobil, Lia. Tapi aku punya waktu buat dengerin kamu. Itu masih laku, nggak?”
Kamelia menatap status WhatsApp-nya yang semalam, Foto Selfie dengan pakai short dress di cermin hotel dengan senyum palsu.
Ia hapus semuanya. Untuk pertama kalinya, bukan karena takut ketahuan. Tapi karena ia ingin dikenal bukan dari status, tapi dari luka yang akhirnya berani ia buka.
“Peluk Tanpa Harga”
Di antara lampu-lampu malam
dan dentuman musik tanpa makna,
aku menari—bukan karena suka,
tapi karena hidup memaksaku lupa.
Langkahku wangi, bibirku merah,
tapi hatiku rapuh, tak pernah megah.
Mereka lihat tubuhku,
tapi tak satupun mau memeluk jiwaku.
Aku janda memiliki anak bukan pilihan, tapi keadaan yang memaksa diam.
Aku bukan Penghibur Kepuasan,
aku hanya bertahan di dunia yang terlanjur bising dan beringas.
Di status WhatsApp aku tersenyum,
padahal ingin menangis.
Di foto hotel aku tampak glamor,
padahal kontrakanku pengap dan miskin romantis.
Aku tidak ingin saldo,
aku rindu suara lembut yang berkata:
“Kau cukup. Bukan karena tubuhmu, tapi karena hatimu yang luka tapi berani tetap hidup.”
Aku tidak ingin bunga di meja hotel,
aku ingin tangan hangat
yang menggenggam di saat dunia menyuruhku menyerah.
Tolong…
jika ada cinta, datanglah bukan dengan harga.
Datanglah sebagai peluk,
yang tak menawar, tak menilai, hanya menerima.
===TAMAT===
ARDHI MORSSE, SABTU 19 JULI 2025













