“bersatu dalam naungan cinta, langkah awal pendakian panjang dan terjal kehidupan”
“cintaku padamu bukan terlahir lahir dari kenyamanan, tapi dari luka-luka yang tidak pernah membuatku ingin pergi.”
===================
Setelah melewati hari-hari yang melelahkan dalam menyusun dan menulis skripsi di antara kegiatan malam jaga posko bencana dan rapat organisasi, aris akhirnya lulus sidang skripsi dan diwisuda. jas hitam dan sepatu yang di semir hitam mengkilat, ia pakai menjadi saksi sejarah, dimana hari itu merupakan impian yang dulu hanya sebatas doa.
setelah sumpah dan penyematan toga di panggung utama, matanya mencari ditta dan ia menemukannya di barisan paling depan, mengenakan gamis biru lembut dan senyum yang ia rindukan sejak pekan terakhir ujian skripsi.
di tahun yang sama, ditta juga telah menyelesaikan studinya di fakultas keguruan dan beberapa bulan setelah wisuda gelombang ke dua, ia diterima mengajar di sekolah swasta elit di kota yang sama. jam mengajarnya cukup panjang, tuntutannya tinggi, tapi ia mencintai pekerjaan itu.
sedangkan, aris tetap memilih berada di lapangan. ia diterima sebagai petugas lapangan penegakan hukum daerah, mengenakan seragam coklat, turun ke jalan, menyegel bangunan liar, atau mengamankan area rawan konflik.
ia juga tetap aktif sebagai relawan penanggulangan bencana, terutama jika tanah longsor, banjir atau kebakaran melanda desa-desa yang masih dalam jangkauannya dan tidak mengganggu pekerjaanya.
mereka jarang sekali bertemu. aris sering masuk pagi, pulang malam. ditta sibuk dengan rencana mengajar, mengoreksi tugas siswa dan pembinaan ekskul. namun, setiap kali libur tiba seperti hari sabtu sore atau minggu pagi, mereka selalu menyisihkan waktu untuk melepaskan rindu.
sore itu, di sebuah coffe tengah kota dengan bangku yang yang menghadap ke gedung-gedung yang tinggi, mereka duduk berdampingan.
tangan aris terasa hangat menggenggam tangan ditta dan saling menceritakan hari-hari yang terlewati.
“waktu begitu cepat, tidak terasa kita akan menikah dibulan depan,”
kata ditta pelan,
“kita mau undang siapa aja? teman mapala semua kayaknya harus datang, ya?”
aris tersenyum, angguk pelan,
“dan aku mau undang semua relawan posko gunung cermai, mereka keluarga juga.”
“aku sih pengen pesta sederhana saja,”
ujar ditta, menantap garis di tanah dengan ujung sepatunya.
“yang penting ada tenda dengan di hiasi nuansa hijau, bunga-bunga yang indah dan orang-orang yang tulus datang.”
“semoga apa yang kita rencanakan, mapu kita wujudkan dengan baik tanpa ada rintangan yang terjal,”
kata aris, menatap lembut namun serius.
ditta mengangkat wajah, mereka saling menatap. tersenyum lembut, sejenak tanpa kata.
aris pun semakin mengeratkan pegangan tangannya terhadap ditta. karena ia tahu, di depan bukan hanya angin yang akan mereka hadapi… tapi akan banyak hujan dan badai serta jalan terjal yang licin.
dan mereka saling menyadari,
“cinta sejati bukan hanya seberapa sempurna pasanganmu, tapi tentang bagaimana hubungan saling mengobati luka satu sama lain.”
============
dua minggu setelah pertemuan mereka di caffe, akhirnya dua keluarga itu duduk dalam satu ruangan yang sama.
di ruang tamu sederhana kediaman keluarga ditta, aroma kopi dan teh serta kue basah mengisi udara, menenangkan kegugupan yang sempat melingkupi mereka.
ayah aris, seorang pensiunan tentara, berbicara pelan namum tegas. sementara ayah ditta, meskipun dikenal pendiam, kali ini terlihat sedikit lebih terbuka, bahkan sesekali tersenyum kecil. ibunda ditta malam itu tampak lebih ramah dan penuh senyum kebahagiaan.
di antara tumpukan map dokumen, proposal biaya resepsi, dan kalender yang terbuka di tengah meja,
suara aris terdengar jelas seisi ruangan,
“insyaallah, kalau tidak ada halangan… kita ingin akad dilangsungkan tanggal delapan bulan depan tepatnya hari minggu.”
ditta menunduk, tersenyum malu-malu. ibunya menatap sebentar, lalu akhirnya mengangguk.
“alhamdulillah, kami sepakat dengan waktunya”
ujar ayah ditta.
“yang penting kalian berdua benar-benar siap secara lahir maupun batin, karena menikah itu bukan sekadar pesta, itu tanggung jawab yang besar dan harus di pikul secara bersama.”
aris menatap ditta, tatapan itu bukan sekadar cinta, tapi juga komitmen yang penuh tanggung jawab.
“kami berdua insyaallah siap, pak. mmeski saat ini kami belum punya semuanya, kami ingin memulai dengan kejujuran dan tekad.”
ditta menggenggam ujung kerudungnya, menahan air mata. setelah bertahun-tahun berjuang bersama di medan alam, kini mereka bersiap menapaki pendakian yang baru, pendakian panjang kehidupan rumah tangga.
dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ruangan itu diisi oleh harapan, restu, dan diam-diam… doa yang tumbuh di dalam dada masing-masing.
“pernikahan bukan soal siapa yang menang dalam debat, namun siapa yang tetap bertahan meskipun banyak perbedaan.”
=====================
akad nikah: saat janji di ucap, dunia seakan diam
“restu bukan hanya tanda tangan di atas akad, tapi ketulusan yang lahir dari penerimaan.”
pukul 08.00 wib, suasana di pagi hari, langit seolah-oleh ikut membersamai kebahagiaan dua insan yang saling mencintai.
hujan turun rintik-rintik, cukup membuat udara segar, tidak sampai merusak riasan ataupun dekorasi tenda dan pelaminan.
rumah keluarga ditta telah disulap menjadi tempat suci nan khidmat, dengan lantunan ayat suci mengalun pelan dan aroma bunga-bunga segar mengambang di udara.
aris duduk di meja yang telah di siapkan panitia, mengenakan setelan pakaian pengantin adat sunda. di depannya, penghulu serta dua saksi dan ayah ditta yang tenang dan banyak diam, namun terlihat tegas dan mantap di hari itu.
ditta yang telah berhias dan mengenakan pakaian pengantin duduk di depan meja rias, ditemani sahabat-sahabat kampus serta mapala. ia terlihat sangat cantik dalam balutan pakaian pengantin yang penuh kemilau. tangannya gemetar, bukan karena takut… tapi karena hari ini merupakan hari penuh sejarah yang selama ini hanya sebuah mimpi dalam tenda-tenda pendakian dan posko bencana.
“aris abdullah bin rusdi wijaya, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak kandung saya, ditta yulianti binti masyudin dahlan…”
jantung aris berdegup cepat, dunia sekelilingnya terasa hening, seperti berada di puncak gunung saat matahari pagi baru muncul.
“…dengan mas kawin berupa seperangkat alat salat dan emas seberat sepuluh gram dibayar tunai.”
aris mantap fokus menatap calon mertuanya lalu menarik nafas,
“saya terima nikahnya ditta yulianti binti masyudin dahlan…dengan mas kawin tersebut… dibayar tunai.”
sah…. saah…
ucapan itu menggelegar dari mulut para saksi, air mata kebahagiaan mulai mengalir dari mata ditta di balik tirai dan dari pelupuk mata aris yang biasa tahan di medan bencana.
ia sangat menyadari sebuah bisikan dalam hatinya,
“tidak ada rumah tangga yang benar-benar bebas jalan terjal licin dan badai, namun selalu ada cara untuk saling berteduh dan menguatkan dalam pelukan.”
==================
di atas pelaminan: puncak kebahagian, sekaligus awal pendakian kehidupan rumah tangga
pesta digelar dengan meriah dan penuh makna. tenda dihiasi warna semesta, mulai dari cokelat, hijau daun serta aksen bambu. di pelaminan, aris dan ditta duduk berdampingan, tangan mereka saling menggenggam, mata mereka saling menenangkan.
teman-teman mapala semuanya datang membawa hadiah unik, seperti foto-foto pendakian mereka yang dibingkai dengan kayu pinus. teman-teman ditta dari sekolah dan guru-guru datang membawakan nyanyian kejutan yang membuat ditta tertawa dan menangis dalam satu waktu.
orang-orang datang memberi ucapan,
“semoga rumah tangganya sakinah, mawaddah, warahmah. semoga saling kuat, saling jaga, saling percaya.”
di sudut pelaminan, ibu ditta tetap memperhatikan dari jauh, wajahnya sulit dibaca antara restu yang dipaksakan atau ragu yang belum juga pergi.
dan aris belum tahu, meski pendakian kehidupan ini resmi dimulai, arah kompas rumah tangga mereka akan terus diuji:
mulai dari ego, oleh masa lalu, mertua, nasib, hingga luka-luka kecil yang bisa tumbuh menjadi jurang yang dalam bila tidak dijaga.
tapi hari itu…hari mereka berdiri di puncak kebahagiaan, sekaligus awal pendakian kehidupan, mereka berdua saling menyadari,
“rumah tangga merupakan pendakian tanpa peta lengkap yang dibutuhkan hanyalah kompas ketulusan, kejujuran, kesetiaan dan tali pengaman bernama ketabahan serta kesabaran. kebahagiaan pernikahan bukan ditentukan oleh pesta yang mewah dan meriah. namun, oleh hati yang saling berpandangan erat dalam berjuang meskipun hanya dengan doa dan harapan yang rapuh.”
bersambung…
ardhi morsse, sabtu 14 juni 2025