Presiden Prabowo dan Tantangan Nyata Kedaulatan Pangan Indonesia

Dari janji ke realita: mengatasi kesenjangan pangan di Indonesia Oleh: Dian Istiqomah, Anggota DPR RI 2019–2024

SIDIKPOST | Jakarta — Kenaikan harga beras dunia pada Mei 2025 menandai kondisi paradoksal sektor pangan global. Meski produksi beras internasional meningkat signifikan, harga di pasar tetap melonjak. Di Indonesia, meskipun panen dinyatakan membaik, harga beras medium di pasaran justru melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET), menunjukkan kuatnya dampak eksternal terhadap stabilitas pangan nasional.

Pemerintah Indonesia memang telah bergerak cepat. Bantuan beras kepada lebih dari 18 juta keluarga dan optimalisasi program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) menjadi bukti respons awal. Namun, visi swasembada pangan yang diusung Presiden Prabowo Subianto—yang menyebut pangan sebagai “masalah hidup-mati bangsa”—masih menghadapi ujian berat di tataran implementasi.

Advertisements

Antara Target dan Realitas

Target ambisius seperti peningkatan produksi di Sumsel, swasembada jagung pada 2026, hingga cadangan Bulog yang tembus 3,7 juta ton tampak impresif. Tetapi realitas di lapangan tidak seindah itu: impor beras 2023 mencapai 3,06 juta ton—terbesar dalam dua dekade terakhir.

Program “food estate” juga menuai kritik karena dinilai hanya meneruskan warisan proyek gagal, seperti MIFEE di Merauke, tanpa evaluasi mendalam. Belum lagi tumpang tindih kebijakan antar-kementerian, konflik lahan dengan masyarakat adat, serta inefisiensi sistem logistik dan distribusi yang menyebabkan hasil panen terbuang.

Baca Juga   Nekat Curi Laptop Pegawai, OB di Mall Pelayanan Publik Diringkus Tim Opsnal Polres Kukar

Solusi Butuh Integrasi dan Keberanian Politik

Indonesia memerlukan terobosan nyata, bukan hanya slogan. Pertama, konsolidasi regulasi pangan lintas sektor menjadi satu kerangka hukum terpadu akan menyederhanakan koordinasi dan memperkuat peran Menteri Koordinator Pangan.

Kedua, anggaran harus difokuskan pada revitalisasi lahan eksisting, irigasi presisi, dan diversifikasi pangan lokal seperti sagu, jagung, dan umbi-umbian. Ketiga, sistem kerja nasional mesti didorong ke arah efisiensi, bukan sekadar menyoal jam kerja panjang atau libur banyak.

Keempat, transparansi data dan partisipasi masyarakat sangat penting. Akses publik terhadap informasi stok pangan, distribusi bantuan, dan perkembangan proyek akan memperkuat akuntabilitas.

Pangan Adalah Jantung Kedaulatan

Presiden Prabowo benar saat menyatakan bahwa tanpa pangan, tidak ada politik yang berdaulat. Tapi untuk mewujudkan itu, pemerintah perlu bergerak dari slogan ke sistem; dari proyek besar ke solusi akar rumput; dari janji ke realita. Jika tidak, kita hanya mengulang kegagalan sejarah dalam kemasan baru.

Sudah waktunya menjadikan petani sebagai aktor utama, bukan sekadar objek kebijakan. Sebab ketahanan pangan bukan hanya soal produksi, tetapi tentang kedaulatan ekonomi, keadilan sosial, dan kesinambungan lingkungan untuk generasi mendatang. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *