Penafian:
Cerpen ini adalah karya fiksi. Tokoh, nama, tempat, dan peristiwa yang digunakan hanyalah hasil imajinasi penulis. Jika ada kesamaan dengan kejadian atau individu nyata, itu semata kebetulan dan tidak dimaksudkan untuk merujuk pada siapa pun.
Langit diatas sekretariat begitu cerah. Gedungnya terlihat kokoh, namun ada yang sesuatu terasa hilang, sesuatu semangat yang dulu pernah membara.
Dari kejauhan, Ferdi memandangi sekretariat baru di antara gedung-gedung milik pemerintah. Dulu, Sebuah sekretariat merupakan jantung Perjuangan sekaligus perlawanan. Kini, hanya tampak seperti gudang tua tanpa penghuni dengan cat mengelupas dan halaman yang tak terawat.
Ferdi, mantan Kader Umum Himpunan Mahasiswa Perjuangan angkatan 2006, kini bekerja sebagai peneliti di sebuah lembaga nirlaba. Sudah lama ia tidak melihat atau hanya mampir berkunjung.
Tapi hari ini, entah kenapa, kakinya membawanya ke sini, seolah ada sebuah dipanggilan kenangan.
Ia tidak masuk ke sekretariat itu. Ia hanya berdiri di seberang jalan, menyaksikan beberapa mahasiswa dengan jaket himpunan lewat sambil tertawa membahas,
“kontrak kerjasama”
dengan salah satu perusahaan properti yang baru saja menutup akses dan menciptakan bencana bagi kampung yang terisolir di antara bangunan baru perumahan.
“Apa nggak bisa di naikin fee dari mereka, Bro? Kita ‘kan berjuang sekaligus membantu meredam warga. Masa cuma dapet segitu?”
kata salah satu dari mereka.
Ferdi menunduk. Tatapannya Nanar dan Dadanya sesak. Dulu, organisasi ini berdiri untuk menantang ketimpangan, Mengadvokasi rakyat yang tak punya suara. Menolak Pengembang tanpa izin, menggugat pembangunan tanpa amdal dan melawan penggusuran sewenang-wenang. Tapi kini, mereka justru menjadi perantara yang menghaluskan kejahatan struktural.
Bukan lagi suara rakyat yang mereka Perjuangankan, tapi proposal kerja sama. Bukan lagi memperjuangkan Nasib rakyat yang terisolir, tapi hanya untuk akomodasi. Dan Hari ini, Bukan lagi kuliah dan aksi sebagai jalan pembebasan, tapi sekadar alat membangun citra dan mengumpulkan keuntungan pribadi.
Di warung kopi tua depan Sekretaris, Ferdi duduk sendirian. Ia membuka media sosial dan menemukan postingan junior-juniornya: foto-foto “aksi damai” di depan kantor Pemerintahan, lalu disambung dengan unggahan makan malam mewah dan caption beraroma diplomatis:
“Bersyukur bisa berjejaring demi memperjuangkan aspirasi warga.”
Tapi Ferdi tahu, warga tidak pernah diajak bicara. Apalagi diperjuangkan.
Salah satu dari mereka, Rusdin Ketua Umum saat ini, merupakan mahasiswa abadi lebih dari semester 14, sudah Tujuh tahun kuliah dan beberapa tahun sudah tidak mengisi KRS, tapi masih rajin datang ke forum-forum bisnis dan diskusi tertutup dengan Pengusaha, Senior Poltisi hingga para pemilik perusahaan besar. Pernah suatu waktu Ferdi mengirim pesan:
“Rusdin, hati-hati dengan posisi organisasi. Jangan sampai kita jadi perpanjangan tangan kekuasaan Yang ikut menindas dan memeras.”
Tidak menunggu lama, langsung mendapatkan Balasan yang datang ringan:
“Bang, Saat ini zaman sudah berubah. Kita harus fleksibel. Kalau terlalu keras, kita ditinggal zaman dan Gak kebagian sama yang lain.”
Ferdi tidak lagi membalas, hanya menghela napas. Zaman memang berubah. Tapi apakah idealisme harus di jual atau dikubur?
Malam itu, Ferdi menulis di blog lamanya, tempat ia dulu mencatat kisah-kisah perjuangan:
“Organisasi secara fisik masih hidup, tapi jiwanya sudah lama mati. Yang tersisa hanya nama, logo dan warisan kosong. Pemuda-pemuda yang dulu membawa bara, kini sibuk menawar harga.”
Ia menutup laptopnya dan memandangi kesunyian malam. Ia hanya merenung, begitu miris dengan kondisi organisasinya, sudah tidak ada lagi suara nyaring dari sekretariat apalagi diskusi-diskusi malam yang penuh amarah dan harapan.
Himpunan itu masih ada. Tapi ruh perjuangannya telah ditukar dengan Pesta di bar, paket makan siang dan Saldo ATM.
Ferdi memjamkan matanya mengingat masa-masa ruh perjuangan organisasi masih hidup dan hatinya berdoa agar kelak, ada satu dua orang muda yang tersesat lalu tersadar bahwa berorganisasi bukan untuk menjadi kaya, tapi untuk belajar mencintai kebenaran, sekalipun harus miskin karenanya.
================
Seminggu setelah kunjungannya ke Sekretariat, Ferdi mendapat undangan diskusi dari Lembaga Pers Mahasiswa yang masih bertahan dengan idealisme yang nyaris lapuk.
Judul diskusinya sederhana tapi provokatif:
“Ke Mana Pergi Perjuangan Mahasiswa?”
Ia sempat ragu datang, bukan karena takut berdebat, tapi karena tahu ia akan bicara di hadapan generasi yang lebih lihai membuat narasi ketimbang menumbangkan ketidakadilan.
Namun, setelah merenung panjang akhirnya, ia hadir. Menurutnya diam, merupakan bentuk pengkhianatan paling halus.
Di ruang diskusi itu di hadiri sekitar 30 mahasiswa dengan duduk melingkar. Sebagian hanya ingin konten untuk media sosial, sisanya memang datang karena resah. Ferdi berdiri, menyapa dengan nada datar.
“Dulu, kami berdiskusi bukan untuk debat kusir, tapi untuk mencari arah. Dulu, kami turun ke jalan bukan untuk viral, tapi untuk membuat kekuasaan sadar bahwa rakyat sedang sekarat.”
Ia menatap mata-mata muda di depannya.
“Tapi sekarang,” lanjutnya,
“kalian lebih sibuk mengurusi audiensi, lobi, dan CSR. Kalian bilang rakyat harus dibela, tapi kalian menandatangani MoU dengan mereka yang menindas rakyat. Kalian berdiri di dua kaki: satu di sekretariat, satu lagi di meja direktur perusahaan.”
Ruangan hening. Hanya terdengar bunyi kipas angin tua yang berderit.
Seorang peserta, perempuan muda dengan mata tajam, mengangkat tangan. Namanya Renita. Ia mengaku sebagai anggota baru himpunan,
“Bang Ferdi, apakah semua yang kami lakukan hari ini salah? Bukankah zaman Sudah berubah? Kami tidak bisa terus jadi mahasiswa jalanan. Perjuangan sekarang harus adaptif, strategis.”
Ferdi tersenyum pahit,
“Adaptif itu perlu, tapi jangan menjual harga diri. Strategis itu penting, tapi jangan sampai jadi perantara transaksi kotor.”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan suara yang lebih pelan,
“Kalau kalian tetap mengatasnamakan rakyat, setidaknya datanglah ke rumah mereka. Dengarkan langsung. Jangan hanya bawa nama mereka, lalu setelah mendapatkan Amplop tebal di balik penderitaan mereka, lalu Pergi dengan pesta kemenangan.”
Renita diam dan tertunduk. Beberapa peserta mulai gelisah.
Usai diskusi, Ferdi duduk sendirian di anak tangga gedung. Tak lama, seseorang menghampirinya. Wajahnya tidak asing, Rusdin.
“Bang Ferdi,” sapanya pelan.
“Tadi saya dengar diskusinya. Saya tidak datang langsung, tapi saya tahu arah bicaramu.”
Ferdi menoleh,
“Sudah waktunya kamu berhenti main dua kaki, Din. Organisasi bukan warung politik. Bukan juga agen properti.”
Rusdin terdiam. Tapi kali ini wajahnya tak lagi percaya diri seperti biasanya.
“Aku… aku lelah, Bang. Awalnya aku juga mau idealis. Tapi semua orang menertawakan. Senior-senior dulu yang bersih, sekarang jadi Politisi sekaligus Makelar Proyek, pengacara sekaligus LSM yang biasa transaksi dengan perusahaan. Aku berpikir, untuk apa kita berteriak kalau semua telinga dan Pemikiran sudah disumbat?”
Ferdi memandangnya, dalam diam yang lama.
“Justru karena semua orang bungkam, kita harus tetap bersuara,” jawab Ferdi akhirnya.
“Kalau kamu ikut diam, maka tak ada lagi yang tersisa.”
Beberapa bulan kemudian, Rusdin mundur dari jabatannya. Tak ada seremoni. Tak ada pengumuman. Tapi di dinding sekretariat, ia meninggalkan satu tulisan dengan spidol hitam:
“Perjuangan ini bukan tempat mencari kaya. Jika aku pernah melenceng, semoga kalian tidak mengikuti jejak yang sama.”
Dan pada malam yang sepi, Ferdi kembali menulis:
“Ternyata masih ada bara yang belum padam. Semoga kelak, ada yang meniupnya kembali hingga menyala.”
=TAMAT=
ARDHI MORSSE. SENIN, 2 JUNI 2025








