Jakarta————Saya belum membaca novel Ghost Fleet yang menginspirasi Prabowo mengutarakan kecemasannya akan kehancuran Indonesia di tahun 2030. Untuk jujur saja, sebelum ini saya bahkan belum pernah mendengar penulisnya.
Novel Ghost Fleet ditulis oleh PW Singer and August Cole dan diterbitkan pada 2015. Novel itu menceritakan skenario perang dunia berikutnya, yaitu Amerika Serikat dengan China dan Rusia yang bersekutu. Indonesia? Gak ada lagi. Indonesia telah hancur dan hanya menjadi latar dalam cerita.
Yang janggal adalah PW Singer adalah nama yang asing di dunia penulisan fiksi. Atau, anggap saja, sebelum Ghost Fleet, dia sama sekali bukan seorang penulis fiksi.
Mengutip Wikipedia, Singer adalah seorang ilmuwan politik Amerika. Dia adalah sarjana hubungan Internasional, khususnya dalam pembahasan peperangan abad ke-21. Dia saat ini menjadi ahli strategi untuk New America Foundation, sebuah lembaga think tank nirlaba, dan editor untuk Popular Science, majalah ilmu pengetahuan ternama di AS.
Singer pernah menjadi Direktur Pusat Keamanan dan Intelegensi Abad ke-21. Sebelum itu, ia pendiri Proyek Kebijakan AS di Dunia Islam pada Pusat Kebijakan Timur Tengah di Brookings. Dia juga bekerja untuk Pusat Ilmu dan Urusan Internasional Belfer di Universitas Harvard, Satuan Tugas Balkan di Departemen Pertahanan AS, dan Akademi Perdamaian Internasional. Singer menerima gelar Ph.D. dari Harvard University dan A.B. dari Woodrow Wilson School of Public and International Affairs di Princeton.
Singer menjadi sarjana termuda di Brookings Institution pada usia 29 tahun. Dia dianggap sebagai salah satu ahli terkemuka dunia tentang peperangan abad 21. Dia menulis untuk banyak media dan jurnal utama dunia, termasuk Boston Globe, Los Angeles Times, New York Times, Washington Post, dll. Singer telah dikutip di setiap surat kabar dan majalah berita utama AS dan menyampaikan ceramah di berbagai tempat mulai dari Kongres AS hingga Pentagon, juga di lebih dari 70 universitas di seluruh dunia. Singer telah disebutkan dalam daftar “100 Pemikir Global Teratas” oleh Foreign Policy, majalah Amerika Serikat yang berfokus pada kebijakan luar negeri AS.
Defense News menobatkannya sebagai salah satu dari 100 orang paling berpengaruh dalam masalah pertahanan. Ia juga melayani kelompok penasihat untuk Komando Pasukan Gabungan, membantu militer AS memvisualisasikan dan merencanakan masa depan. Pada tahun 2015, ia dianggap oleh analisis Onalytica.com sebagai “salah satu dari sepuluh suara yang paling berpengaruh pada isu keamanan cyber.”
Ya, jadi apa poinnya? Singer bukanlah penulis “fiksi” biasa. Sebelum novel Ghost Fleet, dia menulis empat buku yang kesemuanya non-fiksi. Buku terlarisnya yng diterbitkan Penguin, berjudul Wired for War: The Robotics Revolution and Conflict in the 21st Century. Dia mewawancarai ratusan ilmuwan robotika, penulis fiksi ilmiah, tentara, pemberontak, politisi, pengacara, jurnalis, dan aktivis hak asasi manusia dari seluruh dunia.
Wired for War mengangkat tentang bagaimana teknologi robotik akan memainkan peran yang lebih banyak dalam peperangan masa depan. Buku ini dinobatkan sebagai Non-Fiction Book of the Year di tahun 2009 oleh majalah Financial Times dan masuk menjadi bacaan resmi di Angkatan Udara dan Angkatan Laut AS serta Angkatan Laut Australia.
Jadi, marilah sudahi saja dengan pertanyaan mengganggu: Kenapa seorang ilmuwan politik dan ahli strategi menulis sebuah novel?
Sebagai penulis fiksi, saya membayangkan begini. Singer tahu sesuatu melalui pengetahuannya yang amat luas atau melalui jejaringnya di departemen pertahanan atau intelijen AS, bahwa China punya rencana yang ambisius yang didukung dengan sumber daya teknologi yang memadai untuk mengangkangi AS dan akhirnya menguasai dunia.
Jika saya jadi Singer, menuliskannya dalam sebuah buku non-fiksi hanya akan menarik kecaman internasional dan menambah ketegangan antar kedua negara. Satu-satunya pilihan yang tampan adalah…menulis novel.
Mungkin terlalu berlebihan? Ya, bisa jadi. Tapi saya kira Singer tidak bertendensi menjadi salah satu dari 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh AS saat menulis The Ghost Fleet. Dia mungkin sama sekali tidak tahu soal sastra, alasan yang membuat dia merekrut August Cole sebagai Co author. Cole adalah seorang strateg tetapi juga lebih berpengalaman dalam narasi fiksi.
Bersama-sama, mereka membuat skenario yang sangat realistis tentang perang masa depan. Saya membaca, semua teknologi yang disebutkan dalam novel The Ghost Fleet adalah nyata, disebut secara eksplisit dengan 400 catatan tambahan.
Mungkin karena itulah, para pemimpin militer Amerika Serikat merekomendasikan novel ini kepada para prajurit. Laksamana James Stavridis menyebut The Ghost Fleet sebagai “Sebuah cetak biru yang mengejutkan untuk perang masa depan dan karenanya perlu dibaca sekarang juga!”
Tapi tentu saja, fiksi tetaplah fiksi. Kebenaran sebuah ramalan, bagaimanapun, tidak bertempat di masa kini. Dia berada di masa yang jauh, waktu yang tidak bisa kita duga.
Namun, begitupun juga dengan ketidak-benaran.
Saya bukan pendukung beliau, tetapi tidaklah terlalu rendah hati, jika saya menjauhi menyebut Pak Prabowo pelantur atau pengkhayal, hanya karena dia berusaha memperingatkan bangsa Indonesia atas apa yang mungkin terjadi di masa depan.
Saya sendiri bersyukur ada tokoh bangsa yang masih mau membaca novel. Setidaknya, Pak Prabowo membaca, dan dia membagi apa yang dibacanya. Anda tahu, beberapa tokoh hanya berfoto di toko buku tetapi malah membagi apa yang dituliskan humas.
Meski Ghost Fleet adalah fiksi, saya menganggap ini sebuah peringatan. Bagaimanapun, Anda mungkin akan terkejut jika tahu ada banyak kisah sci-fi yang memengaruhi masa depan.
Dalam kasus Ghost Fleet, mungkin bahkan sudah menciptakannya.
Oleh: Randu