Cerita Fiksi : TANAH KARUHUN TERANCAM PUNAH” (Ancaman Proyek Tambang Dan Kerusakan Alam

PENGANTAR
SIDIKPOST| Kisah ini mengikuti perjuangan Iqbal Khusaeri, pemuda desa Giriwening yang berpegang teguh pada filosofi Sunda yaitu Pohon Bambu, Bambu yang lentur namun berakar kuat dan Sadulur Papat Kalima Pancer sebagai kompas moral dalam menghadapi kerakusan korporasi tambang PT Sura Jaya dan kaki tangannya di pemerintahan.
Ketika suara mesin bor milik perusahaan pertambangan menyalak di Hutan Larangan, kampung yang hidup dari air, tanah, dan doa leluhur itu berubah menjadi medan perang. Camat Somara memanipulasi warga dengan janji palsu, sementara preman dan polisi dipakai untuk menindas perlawanan. Fitnah, teror malam, pembakaran rumah tetua, hingga kriminalisasi dijadikan senjata untuk mematahkan persatuan rakyat.

Namun Iqbal menolak tunduk. Ia memadukan strategi rakyat, jalur hukum, dan kekuatan spiritual yang diwariskan karuhun. Bersama sahabatnya, Awan, dan warga yang masih setia, ia membongkar jaringan korupsi, rekayasa perizinan, dan pembelian tanah ilegal yang dirancang elite gelap.

Advertisements

Ketika tambang dihentikan, muncul ancaman baru: Dewa Lahan, aktor besar di balik proyek tambang nasional. Dengan kekayaan, koneksi politik, premanisme, hingga praktik mistis, ia mengobarkan perang baru—lebih kejam dan sistemik. Pengkhianatan aparat desa, warga yang tergoda uang, dan serangan brutal membuat pertahanan Giriwening hampir runtuh.

Di tengah pertarungan fisik, politik, dan spiritual itu, Iqbal berdiri tegak sebagai Pancer, pusat kekuatan moral yang menjaga bukan hanya tanah leluhur, tetapi martabat manusia. Ketika warga tercerai-berai, ia kembali menyatukan mereka dengan suara yang jernih: bahwa hutan bukan komoditas, tapi warisan hidup.

Pertempuran di Bukit Cakra menjadi titik puncak: benteng bambu rakyat melawan alat berat negara; keserakahan melawan kehormatan; kegelapan melawan cahaya niat yang bersih.

Mari kita ikuti kisah Cerita pendek ini menjadi kritik pedas terhadap korupsi struktural, manipulasi proyek strategis nasional, dan kerakusan yang dibungkus jargon pembangunan, seraya mengangkat kembali filosofi kepemimpinan Sunda sebagai kekuatan moral yang tak bisa dibeli uang.

KABUT DI ATAS LEUWEUNG LARANGAN
Kabut tebal turun cepat malam itu. Hutan Larangan, tempat para karuhun menanam doa selama ratusan tahun, seperti menahan napas. Di kejauhan, suara mesin bor tambang perusahaan raksasa PT Sura Jaya menggema—pelan tapi menyakitkan, seperti tulang bumi yang dipatahkan.
Di antara kabut yang menutup sebuah kampung , seorang pemuda berdiri tegap, memakai iket Sunda warna putih yang melingkar rapi di kepalanya. Itulah Iqbal Khusaeri, Seorang pemuda sederhana yang terkenal ramah, ahli silat Cimande dan pemegang nilai-nilai kehidupan sejati masyarakat Sunda yang diwariskan kakeknya. Dia bukan pejabat, bukan pula orang kaya, tapi wibawanya tumbuh dari laku hidup yang bersih dan hati yang jembar.
Suara langkah mendekat, Awan, sahabatnya, berbisik cepat, “Bal, tim survei tambang masuk lagi, Mereka bawa orang-orang ormas bayaran. Warga takut.”
Iqbal menatap ke arah hutan dan dalam dirinya, ajaran karuhun seakan bergetar, “Lamun leuweung rusak, cai beak. Lamun cai beak, hirup musnah.”
(Jika hutan rusak, air hilang. Jika air hilang, hidup musnah.)
Iqbal mendesah, menarik napas panjang. Hari-hari damai kampung Giriwening akan segera berubah menjadi gelanggang perlawanan.
Malam semakin larut, udara semakin dingin… mereka memasuki rumah untuk istirahat.
=========
Pagipun tiba, Sebelum melangkah keluar, Iqbal memejamkan mata. Ia mengingat petuah kakeknya, Filosofi Bambu dan Sadulur Papat Kalima Pancer;
Bambu melengkung saat diterpa angin, tapi tidak patah. Yang Artinya: pemimpin bukan untuk melawan angin, tapi menaklukkannya dengan lentur.
Sadulur Papat adalah empat kekuatan kehidupan, yang artinya, Akang dan Adik Jaga Diri, Jaga Rasa, Jaga Bayu, dan Jaga Buana.
Dan terakhir Pancer, yang artinya diri yang berdiri di tengah, yang menentukan arah.
Iqbal lalu membuka mata. Ia tahu, untuk menghadapi kekuasaan hitam dan politik rakus, ia harus menjadi seperti bambu: tenang, lentur, tapi mengakar kuat.

Baca Juga   Efektif Deteksi Virus Corona Covid-19, Industri Pariwisata Indonesia Siap Gunakan GeNose C-19

MUSYAWARAH YANG RETAK DIANTARA RENCANA LICIK
Di balai desa kampung Giriwening warga sudah ramai berkumpul. Suara-suara saling tumpang tindih, Ketakutan bercampur amarah.
Lalu datanglah Camat Somara, iya seorang pejabat kecamatan yang dikenal licin, pandai bersandiwara, sering memakai ayat untuk menutupi niat busuk. Beberapa warga sudag mengetahui niat dan tujuannya mengundang warga hadir di balai pertemuan, di belakangnya berdiri perwakilan Perusahaan PT Sura Jaya dan preman-preman pengendara motor besar.
“Mohon Pergatiannya Warga Giriwening,” ujar Camat Somara manis. “Tambang ini merupan berkah untuk kampung kita dan warga seluruhnya, nanti akan banyak terbuka Lapangan kerja serta banyak Pembangunan-pembangunan yang merubah wajah kampung kita. Apa kalian mau terus miskin?”
Sebagian warga yang hadir terlihat bingung dan beberapa warga mulai ragu dan bimbang. Kata-kata seorang pemimpin wilayah kecamatan yang terlihat indah dan palsu memang sering terdengar seperti kebaikan yang dioles madu.
Diantara suasana yang penuh keraguan, Iqbal berdiri dengan sikap Tenang tanpa meninggikan suaranya.
“Mohon Ijin berbicara Pak Camat,” katanya lembut namun tegas. Camatpun menjawab dengan Anggukan dan mempersilakan. Ibal Melanjutkan, “semua warga yang hadir termasuk kita ini, dari buyut kita, lahir dan hidup di tanah karuhun, jika apa yang pak camat sampaikan tentang Pembangunan melalui adanya Perusahaan atau proyek tambang, itu bukan sebuah keberkahan tapi akan menjadi bencana dan kerusakan serta kutukan.”
Camat Somara memandang iqbal dan tersenyum sinis, lalu berkata, “Memangnya kamu siapa, Iqbal? Mahasiswa, Guru Silat, atau Ulama? Apapun Itu tidak bisa melawan kekuasaan.”
Iqbal pun menatapnya lurus dan menjawab, “Nu boga kakuatan lain sok nu gedé ku pangkat. Tapi nu kuat ku iman.”
(Yang punya kekuatan bukan yang besar jabatannya, tapi yang kuat imannya.)
Suasana pertemuan mulai memanas. Para preman yanng di luar balai pertemuan lalu masuk dan mendekat, tapi warga segera berdiri di belakang Iqbal. Satu pemuda miskin, satu suara jernih, ternyata bisa mematahkan manipulasi politik.
Pertemuan pun tidak menghasilkan keputusan yang di harapkan pejabat kecamatan apalagi perusahaan, mereka kembali ke tempat masing-masing.
Camat Somara manandang Iqbal dan warga kampung dengan tatapan sinis sambil berbisik lirih, “Mari kita lihat, sejauh mana kalian bertahan dan mempertahankan kampung kalian, karena kalian tidak akan bisa melawan kekuasaan dan kekuatan yang mendapat dukungan penuh.”
Tapi Iqbal pun bersama warga memiliki tekad yang kuat apapun tantangannya, mereka akan terus menjaga kampung mereka,
“Bumi lain warisan karuhun, tapi titipan budak urang nu keur ngadagoan dewasa. Sunda teu diajar ngarebut, tapi lamun dipaksa mundur, kami moal ngarendem.”
(Tanah bukan peninggalan leluhur, tetapi titipan anak cucu yang menunggu masa depan. Orang Sunda tidak diajari merebut, tetapi jika dipaksa mundur, kami tak akan tenggelam.)

Baca Juga   Personel Satgas Yonif 642 Olahraga Voli Bersama Warga Perbatasan

SERANGAN TENGAH MALAM DAN FITAH PEMBUNGKAMAN.
Malam itu seperti malam sebelumnya, namu ketika warga desa mulai tidur, preman-preman bayaran perusahaan atas perintah camat Somara datang. Mereka mulai membuat masalah dengan membakar lumbung padi, merusak pos ronda dan memukuli warga yang mengetahui aksinya dan mencoba melawan.
Iqbal yang dari pertemuan di balai desa sudah mulai waspada dan berkeliling menjaga kampung akhirnya muncul dari gelap. Gerakannya cepat, halus dan menghantam para perusuh tepat sasaran. Jurus Cimande mengalir dari tubuhnya seperti air sungai.
“Whoosh, Bruk, bruk, bruk!”
Tiga preman langsung tumbang seketika di tempat, duanya lagi mundur terhuyung dan lari tenggang langgang ketakutan.
Tiba-tiba preman-preman lainnya berdatangan mengepung dan melawan iqbal, jumlah mereka terlalu banyak, Iqbal sempat terpojok, tetapi Awan dan pemuda desa lainya datang menolong.
Dari kejauhan, Camat Somara menyaksikan semua itu sambil tersenyum dingin.
“Hari ini kalian menang, kita lihat Besok,” gumamnya, “kita akan mainkan strategi yang lebih halus tapi dampaknya akan lebih besar.”
Politik tidak selalu menyerang dengan pukulan. Kadang ia menusuk dengan dokumen, laporan palsu dan hukum yang dibengkokkan uang.
Pemuda-pemuda kampung yang terus siaga menjaga kampungnya semakin memiliki tekad yang kuat namun penuh kewaspadaan dan mereka meyakini bahwa,
“Kuat kawas bambu, daek ngaleuleus asal henteu pegat ku angin goreng. Niat bersih leuwih matak pikasieuneun tibatan pedang nu seukeut.”
(Jadilah seperti bambu: boleh lentur, tapi jangan sampai patah oleh angin jahat. Niat yang bersih lebih menakutkan daripada pedang paling tajam.).

Keesokan harinya, rombongan polisi datang membawa kendaraan Patroli serta surat panggilan. Iqbal dituduh memprovokasi warga dan menghalangi investasi negara.
Semua warga kampung apalagi kelompok pemuda yang semalam itu menjaga kampung serta menghadapi para perema bayar mengetahui bahwa surat pemanggilan itu fitnah, tapi uang tambang bergerak seperti racun: mengalir cepat, tak terlihat, dan mematikan.
Awan mendekat dan berbisik, “Bal, mereka memanpaatkan aparat melalui uang mau membuat kamu terlihat ekstrem dan Mereka mau agar warga takut dekat sama kamu.”
Iqbal pun tersenyum pahit dan menjawab, “Sadulur papat tidak pernah membiarkan pancer sendirian. Selama kita jaga niat, kita tidak kalah.”
Suasana hari itu semakin tegang, tapi bagi ibal dan barisan pemuda kampung mengetahui bahwa ini merupakan permulaan dari tantangan yang lebih besar.
Iqbal meyakinkan pesan-pesan kakeknya dahulu, “Ngajaga alam sarua jeung ngajaga diri, sabab diri téh sarupaning ciptaan tina taneuh. Lamun duit bisa meuli tanah, teu bisa meuli berkahna.”
(Menjaga alam sama dengan menjaga diri sendiri, karena diri berasal dari tanah. Jika uang bisa membeli tanah, ia tak bisa membeli keberkahannya.)
==============
Senjapun tiba menyambut malam, Iqbal meninggalkan rumah dan pergi menuju hutan Larangan untuk mendatangi sebuah pohon hanjuang. Ia menjalankan tirakat, memadukan silat, dzikir dan doa karuhun.
Angin berputar lembut dan suasana hutan begitu sunyi.
Suara burung hantu terdengar seperti isyarat.
Di dalam keheningan itu, Iqbal mendapat ilham, Bukan kekuatan tangan yang akan memenangkan perlawanan ini, Tapi membongkar korupsi yang disembunyikan perusahaan tambang dan pejabat.
Setalah pulang dari hutan Larangan, Iqbal mengumpulkan semua pemuda yang memiliki keyakinan serta keberanian mempertahankan kampungnya dari kerusakan dan kerakusan pengusaha tambang serta pejabat wilayah. Ia menyampaikan rencana kepada seluruh pemuda untuk bersama-sama mengumpulkan barang bukti. Baik itu berupa Surat, rekaman maupun dokumen pembelian tanah ilegal yang dilakukan PT Sura Jaya. Mereka menyadari permainan dan gerakan ini sangat berbahaya. Tetapi jika tanah karuhun dibiarkan hancur, generasi selanjutnya akan menjalani hidup sebagai tamu di tanah sendiri.
Iqbal menyakini pesan para luluhur, “Leuweung ruksak, manusa ruksak; cai kotor, haté leuwih kotor. Sabar lain hartina cicing. Sabar teh strategi pikeun nangtung dina waktu nu pas.”
(Hutan rusak, manusia rusak; air kotor, hati lebih kotor. Kesabaran bukan berarti diam. Kesabaran adalah strategi untuk berdiri pada saat yang benar.)

Baca Juga   Pemdes Bojong Renged Gelar Acara Sosialisasi Pemberdayaan Kelompok Tani

PERTEMPURAN DI BALAI KABUPATEN
Hari itu sidang terbuka terhadap iqbalpun tiba. Camat Somara mengira ia akan menang mudah. Namun Iqbal di bantu para pemuda dann datang dengan membawa data lengkap mulai dari bukti suap, transfer gelap dan perizinan palsu.
Ruang sidang pun ramai dan riuh. Ketua hakim terdiam lama dan Warga kampung pun berbondong-bondong memenuhi halaman.
Tidak berselang lama, keputusan hakimpun keluar:
Penghentian operasi tambang dan Investigasi korupsi pejabat serta Penangkapan beberapa eksekutif.
Camat Somara pun pucat. Ia kalah bukan oleh kekerasa, tapi oleh pemuda-pemuda desa yang menjaga nilai leluhur lebih teguh dari batu karang.
Warga yang hadir meyakini pesan para karuhun terdahulu, “Lamun kakawasaan dijalankeun ku hawa napsu, hukum ngan ukur jadi seragam tanpa jiwa. Ninggalkeun leluhur sarua jeung motong akar diri sorangan.”
(Jika kekuasaan digerakkan nafsu, hukum hanyalah seragam tanpa jiwa. Melupakan leluhur sama dengan memotong akar diri sendiri.)
===============
Setalah Pristiwa persidangan yang di menangkal Iqbal bersama Warga kampung, Hutan Larangan pun pulih secara perlahan, Air sungai kembali jernih, Warga -warga secara bergotong royong menanam ribuan bibit bambu sebagai simbol perlawanan dan harapan.
Iqbal bersama sahabatnya awan, duduk di pinggir sungai, menatap matahari terbit.
Awan berkata pelan, “Bal, kamu bukan pemimpin yang kami pilih… tapi pemimpin yang kami butuhkan.”
Iqbal tersenyum lalu berkata, “Pancer bukan dihormati karena berdiri di tengah keramaian, Tapi karena mampu menuntun arah tanpa kehilangan dirinya sendiri.”
Iqbal pun melanjutkan, “Pancer kudu jernih, sabab nu opat salawasna narik ka unggal arah. Pemimpin lain nu aya di paling hareup, tapi nu berani nanggung dosa lamun ngajak bohong.Hirup lain pikeun menang, tapi pikeun nyepeng kebenaran sangkan moal éléh.Bakti ka alam teh sarua jeung bakti ka Gusti.”
(Poros diri harus jernih, karena empat saudara batin selalu menarik ke arah berbeda. Pemimpin bukan yang berdiri paling depan, tetapi yang berani menolak mengajak pada kebohongan. Hidup bukan untuk menang, tetapi untuk memegang kebenaran agar tak kalah. Menghormati alam sama dengan menghormati Tuhan.)
Awan pun tersenyum bangga.
(Bersambung)

ARDHI MORSSE, TANGERANG 29 NOVEMBER 2025.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *