SIDIKPOST|Jakarta-Industri migas merupakan industri dengan biaya dan risiko yang tinggi. Penguasaan teknologi, kemampuan memahami aspek komersial dari sebuah proyek merupakan sesuatu yang mutlak dimiliki setiap investor, pelaku usaha dan pemangku kepentingan di industri migas.
Telah banyak kasus di dunia dimana sebuah proyek migas gagal lantaran tidak mendapatkan hasil sesuai dengan proyeksi di awal.
Terakhir diketahui proyek LNG Prelude di Australia yang dikelola konsorsium Shell menghentikan produksinya karena banyak masalah teknis yang belum terselesaikan dengan teknologi offshore LNG dan diperparah dengan adanya pandemi COVID-19.
Proyek ini merupakan salah satu fasilitas LNG terapung terbesar di dunia dengan nilai investasi yang sangat besar.
Ketika memulai proyek ini di tahun 2011, biaya proyek Prelude dengan proyeksi produksi LNG 3,6 juta ton per tahun, investasi di Prelude ditaksir butuh biaya antara US$10,8 -US$ 12,6 miliar.
Di akhir tahun 2019, investasi proyek Prelude diprediksi telah mencapai US$ 19,3 miliar, 45% lebih tinggi dari proyeksi awal.
Namun LNG yang berhasil dikirimkan jauh lebih rendah daripada kapasitas terpasangnya.
Pengiriman LNG pertama Prelude juga berjarak dua tahun dari rencana awal di tahun 2016. (Informasi ini bisa dibaca di postingan sebelumnya).
Ditengah fluktuasi harga minyak dan konsumsi energi yang menurun akibat Pandemi COVID-19 saat ini, banyak perusahaan migas di seluruh dunia tentu melakukan evaluasi terhadap strategi investasinya.
Dengan demikian kompetisi untuk menarik investasi investor minyak global akan sangat ketat dan kompetitif.
Dalam situasi ini setiap negara harus memiliki strategi yang tepat agar investor migas tetap fokus mengembangkan proyek atau menambah investasinya di negara tersebut.
Ada sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk menarik investasi di sektor migas.
Misalnya, sistem fiskal yang ada menjamin dan memberikan kepastian investasi tanpa harus melakukan negosiasi kontrak kembali.
Investor juga mendapatkan benefit ketika situasi ekonomi atau harga minyak bergejolak.
Sebagai contoh, ketika harga turun, investor bisa mendapatkan bagi hasil yang lebih baik untuk menjaga tingkat keekonomian proyek migas tersebut.
Sebaliknya, ketika harga minyak naik, negara yang akan mendapatkan bagi hasil lebih baik.
Inilah salah satu daya tarik bagi kontraktor migas untuk menggunakan Gross Split. Ketika harga minyak turun, kontraktor bisa mendapat tambahan split hingga 7,5% dari gross revenue.
Kegiatan procurement juga menjadi lebih efisien karena tidak melewati birokrasi yang panjang.
Dengan efisiensi yang meningkat diharapkan keuntungan kontraktor akan lebih baik dan mampu bertahan dalam masa krisis seperti saat ini.
Dengan proses procurement yang lebih singkat, tentu penghematan yang dilakukan akan sangat besar.
Bayangkan jika sebelumnya butuh waktu 10-15 tahun dari eksplorasi sampai mulainya produksi, dengan procurement mandiri dalam sistem Gross Split, waktunya bisa dipangkas hingga 2-3 tahun lebih cepat.
Sehingga kontraktor bisa menghemat banyak biaya seperti biaya operasional dan menaikkan NPV (Nett Present Value).
Insentif lain bagi kontraktor adalah dengan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) bisa mendapatkan tambahan split. Semakin tinggi TKDN, semakin besar pula split tambahan kontraktor.
Bahkan jika suatu wilayah migas nilai keekonomiannya rendah, kontraktor bisa mendapatkan tambahan split hingga 5%.
Ini adalah bukti dan komitmen perlindungan terhadap investor, sehingga kontraktor migas mendapatkan jaminan bahwa investasinya akan menguntungkan.( ARJ/Red).