Hari berikutnya, langit terlihat mendung. Aris pulang kerja dengan mata sembab dan tubuh letih karena laporan proyek kecamatan yang tidak kunjung selesai.
Ditta pun tidak kalah lelah. Hari ini ia harus menggantikan guru lain yang izin, mengajar enam jam tanpa jeda.
Keduanya sama-sama ingin rumah menjadi tempat rehat, tempat berteduh dari kerasnya dunia luar.
Namun kadang, kelelahan membuat ego lebih cepat menyala daripada logika.
Hanya karena hal sepele, mereka bersitegang.
Aris kesal karena pakaian kerjanya belum disetrika.
Ditta jengkel karena Aris lupa membeli kebutuhan dapur yang sudah ia titip Ketika berangkat kerja pagi.
Suara meninggi, Nada menjadi tajam, Tapi bukan amarah besar. Hanya luapan kepenatan yang menemukan celah.
Amarah mereka mereda, seperti hujan yang cepat reda, keduanya saling diam lalu saling menatap, dan perlahan, kata maaf mengalir tanpa paksaan.
“Maaf kan aku, Bang… aku terlalu lelah.”
“Aku juga, ditta. Harusnya nggak ngomel soal baju kerja, Kita sama-sama capek. Kita manusia biasa.”
Mereka berpelukan. Sunyi dan Hangat. Sesaat, Kamar kembali menjadi tempat yang nyaman.
—
“Seperti pendakian, kehidupan ini penuh tanjakan dan jurang, Tapi bersama cinta dan tekad, setiap langkah menuju puncak menjadi ringan dan berarti.”
—
Keributan malam itu ternyata ada telinga lain yang mendengar. Ada mata lain yang mengintip dari balik pintu yang sedikit terbuka. Ibu mertua Aris.
Esok harinya, Ditta yang sedang menjemur pakaian tiba-tiba diajak bicara ibunya,
“Kau semalam ribut sama suamimu ya, tidak sengaja ibu mendengarnya?”
Ditta kaget,
“Cuma salah paham kecil kok, Ma. Udah baikan lagi.”
Tapi sang ibu menggeleng pelan, lalu Senyumnya sinis,
“Itu baru awal, Nak. Belum genap setahun udah mulai naik suaranya. Kau kira itu cinta? Laki-laki itu bukan tempat bersandar, Kau lihat sendiri kan dia suka menyembunyikan sesuatu?”
Ditta mengerutkan dahi,
“Tapi Mama, dia sudah berubah dan Selalu jujur.”
“Ditta, kamu Jangan bodoh, Hari ini marah soal baju, besok bisa soal makan, lusa bisa soal hidupmu sendiri. Mama Cuma mau kau jangan nyesal di kemudian hari.”
Kata-kata ibunya itu bagai racun halus yang masuk tanpa disadari.
Hati Ditta mulai kembali ragu. Padahal semalam dia dan suaminya sudah saling menguatkan, Tapi sekarang, luka lama yang telah sembuh perlahan dikupas kembali oleh tangan ibunya sendiri.
—
Hari itu, Aris pulang lebih cepat. Ia membawa nasi padang kesukaan Ditta, ingin menebus amarah semalam dengan kejutan kecil, Tapi senyuman yang ia harap tak menyambutnya, Yang hadir hanya kalimat datar dan dingin,
“Aku hanya ingin tahu, Kalau nanti kita benar-benar ribut besar, Abang bakal tetap tinggal?, Atau balik ke rumah orang tua Abang?”
Aris terdiam. lalu menjawab pelan,
“Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?”
Ditta tidak menjawab, Hanya menunduk. Tapi dari sorot matanya, Aris tahu, pasti ada yang mengusik hatinya lagi, Bukan dari dirinya, Namun dari luar dan Aris tidak perlu menebak siapa.
—
“Pendakian hidup bukan soal seberapa tinggi puncaknya, melainkan seberapa dalam kita memahami setiap jejak yang tertinggal di lereng perjalanan.”
“Dalam sunyi puncak gunung, manusia belajar bahwa ketenangan bukan didapat dari luar, melainkan dari menerima luka dan cinta secara bersamaan.”
================
Aris makin sering duduk di depan komputer bukan sekadar menyelesaikan laporan kecamatan, tapi membuka satu per satu iklan kontrakan kecil di sekitar wilayah tempat dia bekerja, bukan karena ia tak mencintai istrinya, Justru karena ia ingin melindungi pernikahan mereka dari gangguan yang makin sulit ditahan.
“Rumah saat ini bukan lagi tempat pulang, tapi ladang permasalahan dan tekanan yang terus menghantam ikatan pernikahan,”
gumamnya lirih di sela menikmati secangkir kopi.
Lagi-lagi rencana itu tertunda, Hari itu, ibu mertuanya memanggil Aris dengan nada mendesak. Adik laki-laki Ditta yang lumpuh setahun terakhir karena pengapuran, sedang mengeluh nyeri hebat di persendiannya.
“Tolong antar ke tempat berobat ya, Tapi bukan ke rumah sakit. Ke Bu Haji Sakinah aja, yang bisa mengobati orang kena kiriman,”
kata ibu mertua tanpa ekspresi.
Aris terdiam sejenak, menahan debat yang menggantung di kerongkongan, Tapi akhirnya ia menjawab:
“Kalau di izinkan, Kita bawa dulu ke rumah Paman bu. Dia paham soal penyakit medis dan non-medis. Biar kita dapat pandangan lebih objektif.”
Sang ibu mertua setuju, meski dengan tatapan mencurigai, Mereka pun berangkat.
—
Setelah menempuh perjalan yang tidak begitu jauh, akhirnya mereka tiba di rumah paman Aris yang juga tokoh agama sekaligus mantan perawat.
Setelah berbasa-basi akhirnya, adik ipar Aris diperiksa secara detail. Mulai dari Gerakan lutut, kondisi sendi, postur tubuh, hingga riwayat kelumpuhan yang terjadi mendadak.
Setelah pemeriksaan menyeluruh, paman Aris menyampaikan pelan tapi tegas,
“Bu, Mohon maaf sebelumnya, Sakit yang di derita Anak ibu ini bukan karena kiriman, Ini jelas pengapuran tulang. Ia Harus dibawa ke spesialis ortopedi, Kalau terus-terusan ke alternatif, hanya memperlambat pengobatan.”
Ibu mertua Aris menatap Sang paman, lalu menggeleng keras,
“Saya tahu apa yang di derita anak saya, Anak saya bukan sembarang orang!, Sudah banyak yang bilang penyakitnya ini karena kena guna-guna. Jangan ajari saya soal penyakit anak saya!”
Paman Aris tetap sabar, lalu menghenbuskan nafas secara perlahan dan tenang,
“Sekali lagi mohon maaf, Saya tidak mengajari, Ibu. Saya hanya menyarankan, Guna-guna bisa saja terjadi. Tapi menolak dokter hanya karena prasangka, itu menutup pintu kesembuhan anak ibu.”
Ibu mertua Aris mendengus. Lalu menarik tangan anaknya,
“Ayo, kita pulang. Nggak usah dengar yang bukan-bukan.”
================
Di perjalanan pulang, Aris tidak banyak bicara. Di pikirannya, hanya satu kalimat terus berputar:
“Bagaimana bisa seseorang minta tolong tapi menolak solusi?”
Ia menatap kaca spion, melihat wajah ibu mertua yang masih keras. Lalu menoleh pada adik iparnya yang pucat dan lemah, korban dari keyakinan yang terlalu keras kepala.
Setibanya di rumah, Aris masuk kamar.
Ia duduk di sisi ranjang, lalu berkata pada Ditta dengan suara pelan tapi tegas,
“Ditt, aku nggak bisa terus seperti ini. Aku mau kita kontrak rumah sendiri. Aku lelah terus dianggap salah di rumah ini.”
Ditta terdiam. Ia tahu, bukan rumah yang ingin ditinggalkan Aris, tapi racun yang tinggal di dalamnya.
Karena menahan amarah dan kesal terhadap sikap mertuanya, Aris pun mencoba tidur lebih cepat.
Ditta kembali membuka buku hariannya, menuliskan apa yang sedang ada dalam pikirannya,
“Sisa Doa di Ujung Malam”
Aku tak ingin jadi anak durhaka,
Tapi aku juga tak sanggup jadi istri yang mematahkan pundak suami.
Aku tak ingin menjauh dari ibu, Tapi aku juga tak ingin mencederai hati orang yang tiap malam pulang dengan lelah demi kami.
Tuhan, beri aku satu jalan…
Bukan yang paling mudah, Tapi yang paling jujur,
Agar aku tetap bisa mencintai keduanya,
Tanpa kehilangan diriku sendiri.
—
Malam itu rumah sepi. Hanya suara kipas angin yang mendesir lembut di ruang tengah.
Ditta duduk termenung di tepi tempat tidur, sambil menatap punggung Aris yang terbaring membelakangi.
Ia tahu Aris sedang marah atau lebih tepatnya lelah. Bukan pada dirinya, tapi pada situasi, Pada rumah ini. Pada ibu yang ia cintai dan kini berubah jadi penghalang ketenangan hidupnya.
Tiba-tiba Ponsel Ditta berdering,
Nama ibunya muncul di layar, Ditta ragu-ragu mengangkat,
“Kamu udah makan? Itu suamimu nggak ngajak kamu ngobrol ya malam ini?”
Ditta menghela napas.
“Udah, Ma, Kami lagi pengen tenang aja dulu.”
Tapi suara ibunya langsung naik,
“Kamu tuh dibodohi, Ditta. Lihat itu suamimu. Mulai cari kontrakan, mau ajak kamu menjauh dari orang tua. Kamu kira dia cinta? Itu tanda dia nggak betah di rumah ini, Habis manis sepah dibuang!”
Ditta mulai menangis. Tapi suara ibunya tak berhenti,
“Kalau kamu ikut dia, kamu sama saja ninggalin keluarga yang udah melahirkan dan membesarkan kamu!, Kamu jadi anak durhaka!”
—
“Setiap pendakian yang melelahkan mengajarkan: bukan ego yang harus sampai lebih dulu, tapi jiwa yang bersedia menunggu dan memahami.”
—
Malam makin larut. Aris tetap diam di ranjang. Ditta akhirnya duduk di lantai, bersandar ke dinding kamar.
Ia menatap suaminya lama, lalu berkata:
“Abang…”
“Ya?” jawab Aris, pelan.
“Kalau aku tetap tinggal di rumah ini, abang tetap cinta aku?”
Aris bangkit duduk, memandangi istrinya. Mata Ditta sembab, tapi tatapannya jujur,
“Ditta… Cinta itu bukan soal tinggal di mana. Tapi kalau tempat tinggal kita malah jadi tempat saling menyakiti, buat apa dipertahankan?”
“Aku bingung, Bang. Mama tetap mama aku. Dia yang melahirkan, membesarkan, ngajarin ngaji… Tapi abang juga suamiku, imamku. Aku nggak mau kehilangan salah satu…”
Aris menggenggam tangan istrinya,
“Aku nggak pernah minta kamu buang ibumu. Tapi aku juga nggak bisa terus dianggap menantu durhaka hanya karena diam. Aku butuh ruang Ditta. Kita butuh ruang. Bukan untuk menjauh dari keluarga… tapi untuk lebih saling mencintai, menjaga keutuhan rumah tangga, tanpa ada gangguan yang terus-menerus.”
—
“Bintang Tidak akan tampak tanpa gelapnya malam, sebagaimana kesetiaan diuji bukan di saat senang, tapi saat badai rumah tangga tak kunjung reda.”
—
Ditta mengangguk. Meskipun hatinya perih, ia tahu, sebuah keluarga baru tidak bisa tumbuh di atas fondasi lama yang terus-menerus diganggu.
Malam itu, ia menulis pesan untuk ibunya:
“Ma… aku tetap anak Mama. Tapi mulai bulan depan, kami akan coba tinggal sendiri, Bukan karena kami tidak cinta keluarga , tapi karena kami ingin saling menjaga pernikahan ini sebelum terlambat.”
—
Pagi itu, Aris kembali menuruti ajakan ibu mertuanya untuk mengantar adik Ditta berobat, kali ini ke seorang ustadz kampung yang katanya bisa “mendeteksi kiriman gaib”.
Hanya sepuluh menit berkendara motor, mereka sampai di sebuah rumah yang tampak sederhana. Seorang pria paruh baya, berjanggut tipis dan sorban yang tampak usang, menyambut mereka.
“Ayo Masuk… mari, mari…”
Katanya lirih, seperti sedang mencoba bersuara lebih kharismatik dari kenyataan.
Ibu Ditta langsung bercerita panjang soal adiknya, sambil menyelipkan satu nama, paman Aris.
“Udah dibawa ke pamannya Aris, katanya sakit medis. Tapi saya rasa ini bukan medis. Ini non-medis. Saya yakin.”
Ustadz itu mengangguk-angguk, lalu menatap Aris tajam.
Ia menghela napas panjang seolah sedang melihat sesuatu yang tak kasat mata,
“Ananda… tubuhmu ini banyak ditumpangi. Ada makhluk lain. Banyak ilmu ghaib bersarang. Mungkin warisan pamannya itu…”
Aris terdiam beberapa detik, mencoba tetap tenang. Lalu menjawab dengan suara datar:
“Saya tidak pernah belajar ilmu ghaib, tidak pernah mendalami hal-hal seperti itu. Dan paman saya itu orang yang lurus. Tidak ada yang seperti itu.”
Tapi sang ustadz terus berbicara, seakan-akan semakin menikmati situasi:
“Ada yang kirim. Saya rasa… ini kiriman dari perempuan masa lalu… janda, bukan? Ini semua belum selesai urusannya.”
Aris langsung berdiri,
“Maaf, Pak Ustadz. Ini sudah bukan lagi pengobatan. Ini tuduhan dan fitnah.”
Namun sang ustadz tidak gentar. Justru suaranya makin lantang:
“Orang seperti kamu, kalau tidak dibersihkan, bisa membawa celaka dalam rumah tangga. Bisa menghancurkan anak perempuan yang kau nikahi.”
Ibu Ditta langsung menatap Aris dengan sorot baru: bukan sekadar kesal, tapi penuh kebencian dan pembenaran atas semua sikapnya selama ini.
—
“Gunung dan hujan bersaksi—bahwa rumah tangga bukan tentang siapa yang benar, tapi siapa yang paling rela mengalah demi bertahan.”
—
Dalam perjalanan pulang, suasana sangat dingin. Aris mengendarai motor dengan rahang mengeras, menahan emosi.
Sementara ibu mertuanya di jok belakang bersedekap, wajahnya dingin penuh amarah yang kini dibungkus oleh “pembenaran spiritual”
Sesampainya di rumah, ibu Mertua Aris langsung memanggil anaknya. Ditta,
“Nak… kamu tahu tadi, apa yang di sampaikan ustadz?, Ustadz bilang suamimu ini bawa banyak beban ghaib. Itulah kenapa rumah tanggamu jadi berat dan Itu juga membuat kamu sering menangis diam-diam.”
Ditta terkejut, tapi belum sempat menjawab, sang ibu melanjutkan,
_“Kalau kamu tidak bertindak, semuanya akan makin parah. Rumah tangga kalian bisa hancur. Hati-hati, Ditta… janda masa lalunya itu masih membayangi lewat ilmu hitam.”_
—
Bersambung….
—
Menikmati Rintik Air Hujan di malam hari bersama Secangki Kopi.
Salam Hormat untuk Para Pembaca yang terus menanti, Sampain Jumpa Di Kisah Aris dan Ditta Di Esok Hari.
ARDHI MORSSE, 19 JUNI 2025













