SIDIKPOST | Jakarta – Kasus ini bermula dari pemesanan apartemen oleh Ike Farida pada tahun 2012. Namun, pemesanan tersebut tidak dapat dilanjutkan dengan penandatanganan PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) dan AJB (Akta Jual Beli) karena diketahui bahwa Ike Farida bersuamikan seorang Warga Negara Asing dan tidak memiliki perjanjian perkawinan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai status pembayaran yang telah dilakukan Ike Farida. Ketika PPJB dan AJB tidak bisa dilanjutkan, pengembang berupaya mengembalikan seluruh pembayaran secara penuh. Namun, Ike Farida menolak pengembalian tersebut dan meminta kompensasi berupa ganti rugi. Pada tahun 2014, pengembang menitipkan pengembalian dana melalui konsinyasi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, tetapi Ike Farida tetap menolaknya.
Pada tahun 2015, Ike Farida mengajukan gugatan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 51/PDT.G/2015/PN JKT.SEL. Gugatan tersebut berlanjut hingga tingkat banding dengan nomor perkara 93/PDT/2018/PT DKI dan kasasi dengan nomor perkara 3181 K/Pdt/2018.
Di tengah proses hukum, pada tahun 2017, Ike Farida membuat perjanjian perkawinan dan menjadikannya alat bukti tambahan dalam perkara banding. Pada waktu yang bersamaan, Ike Farida juga mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi dan mendapatkan Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015.
Namun, Putusan Banding pada 2018 tetap menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama, dan kasasi juga menguatkan putusan banding. Majelis Hakim Kasasi menyatakan bahwa Putusan PN Jakarta Selatan telah diputus sebelum Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015, sehingga Putusan MK tersebut tidak memiliki akibat hukum terhadap putusan perkara a quo.
Tidak menyerah, Ike Farida mengajukan upaya Peninjauan Kembali (PK) dan memberikan kuasa kepada Nurindah, seorang pengacara di firma hukum miliknya, untuk mengajukan PK dan melakukan sumpah terkait bukti baru (novum). Ike Farida akhirnya menang dalam PK tersebut.
Namun, belakangan diketahui bahwa bukti yang diajukan sebagai novum ternyata telah digunakan dalam proses peradilan sebelumnya. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa sumpah atas bukti baru tersebut melanggar Pasal 242 KUHP.
Dalam persidangan, Ike Farida menyatakan tidak memahami bahwa pengajuan PK harus disertai novum yang belum pernah diajukan sebelumnya, serta harus disumpah. “Saya tidak pernah menghadiri persidangan dari tingkat pertama hingga PK, jadi saya tidak mengetahui bukti apa saja yang sudah digunakan sebelumnya,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa Nurindah dan Yahya, mantan pengacaranya, telah dilaporkan ke Peradi atas dugaan pelanggaran etik.
“Ibu Ike Farida adalah sosok yang sangat teliti dan selalu memeriksa dokumen yang akan digunakan. Ada grup WhatsApp bersama antara kuasa hukum dengan Ike Farida, sehingga semua hal pasti dibicarakan bersama,” ujar Yahya, mantan pengacaranya, saat memberikan kesaksian pada Selasa (28/10/2024).
Nurindah, yang diberi kuasa untuk mengajukan PK dan melakukan sumpah novum, menyatakan di persidangan bahwa semua tindakannya dilakukan atas sepengetahuan dan persetujuan Ike Farida. “Sebagai advokat baru di kantor Farida Law Office, mana mungkin saya bertindak tanpa izin dan persetujuan dari Bu Ike sebagai advokat senior sekaligus pemimpin kantor,” tegasnya.
Jaksa dalam persidangan menyebutkan bahwa terdapat percakapan melalui WhatsApp antara Ike Farida dan Nurindah sebelum dan sesudah pengajuan PK serta sumpah novum. “Karena terdakwa tidak mau mengakui perbuatannya, maka tidak ada alasan pemaaf bagi terdakwa Ike Farida,” kata Jaksa pada sidang pembacaan pledoi Kamis (21/11/2024).
Ahli pidana Prof. Dr. Suhandi Cahaya, SH, MH, menilai langkah hukum Ike Farida menunjukkan indikasi niat buruk (mens rea). “Mengajukan somasi, melaporkan pidana yang berakhir SP3, menolak pengembalian dana melalui konsinyasi, hingga menggugat perdata dan PK dengan novum yang ternyata bukan bukti baru. Kalau itu bukan mens rea, lalu apa?” katanya pada Kamis (31/10/2024) ( sdp )